A.
PENDAHULUAN
Tak bisa kita pungkiri bahwa tafsir Rasulullah merupakan sebuah kajian yang
memiliki bobot ilmiyah yang tinggi. Tafsir Rasulullah sebenarnya merupakan
embiro karya-karya tafsir para ulama’ Islam.
Dari sekian banyak karya tafsir ulama’ Islam, ternyata tidak ada satu pun
yang lepas sama sekali dari unsur tafsir Rasulullah. Hal ini sudah cukup
menjadi panduan dan pedoman bagi para mufassirin di dalam membedah kandungan
al-Qur’an. Dan dalam makalah ini akan kami
sebutkan sebagian ayat yang dijelaskan oleh Nabi saw.
B.
PEMBAHASAN
1.
Tafshil al-Mujmal (Merinci Ayat-ayat yang Bersifat Global)
Rasulullah menjelaskan ayat-ayat yang masih bersifat
global, di antaranya adalah:
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah,
“Bagaimana menurut Anda tentang firman Allah dalam Surah al-Hijr: ayat 90:
كَمَا
اَنْزَلْنَا عَلَى
الْمُقْتَسِمِيْنَ . [ الحجر : 90]
“Sebagaimana
(Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (adzab) kepada orang-orang
yang membagi-bagi (Kitab Allah)”.
Rasulullah bersabda: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah
orang-orang Yahudi dan Nashrani”. Lelaki itu kembali bertanya: “Bagaimana
pendapat Anda tentang firman Allah:
الَّذِيْنَ جَعَلُواالْقُرْآنَ عِضِيْنَ . [ الحجر :91]
“Yaitu
orang-orang yang telah menjadikan al-Qur’an itu ‘idhiin”. Apakah yang dimaksud ‘idhiin itu?”.
Rasulullah bersabda: “Yang dimaksud ‘idhiin adalah orang yang beriman kepada
sebagian dan kufur pada sebagian.[1]
Dalam firman Allah Surah at-Taubah: ayat 36:
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِعِنْداللهِ اثْنَاعَشَرَ شَهْرًا
فِى كِتَاب اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَا اَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ . [ التوبة :36]
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua
belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di
antaranya empat bulan muharram”.
Di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan bulan apa saja yang
termasuk empat bulan haram tersebut. Akan tetapi sunnah Rasulullah yang
merincinya. Beliau menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bulan haram adalah
Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.
Dalam firman Allah Surah al-‘Alaq: ayat 1:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ . [ العلق :1]
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan”.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah telah
didatangi oleh Malaikat yang berkata: “Bacalah!”. Rasulullah bersabda: “Aku
tidak bisa membaca”. Lantas Malaikat itu mendekap Rasulullah untuk kedua
kalinya sehingga Beliau merasa sesak. Setelah itu dia melepaskan dekapannya.
Malaikat itu kembali berkata: “Bacalah!”. Rasulullah bersabda: “Aku tidak bisa
membaca”. Lantas Malaikat mendekap Beliau untuk yang ketiga kalinya sehingga
Beliau merasa sesak. Setelah itu ia melepaskan dekapannya. Lantas Malaikat itu
berkata: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”.[2]
2. Taudhih al-Musykil (Menjelaskan yang Nampak Bermasalah)
Diriwayatkan oleh Muslim dan perawi lainnya,
dari al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata: “Rasulullah telah mengutusku kepada
orang-orang Najran. Setalah aku sampai disana mereka bertanya kepadaku:
“Bagaimana pendapatmu tentang ayat ini:
يَااُخْتَ هَارُوْنَ مَاكَانَ اَبُوْكِ امْرَاَسَوْءٍ
وَمَاكَانَتْ اُمُّكِ بَغِيًّا. [مريم : 28]
“Hai
saudara perempuan Harun [Maryam], ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang
jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina",
Mengapa panggilan saudara perempuan Harun ditujukan
kepada Maryam ibu Nabi Isa, sedangkan zaman Nabi Musa dan Nabi Isa sudah
terputus sekian lama?, apakah mungkin Maryam masih memiliki hubungan saudara
dengan Harun saudara Musa?”. Maka aku kembali pulang dan melaporkan kejadian
tersebut kepada Rasulullah. Lantas beliau bersabda: “Apakah kamu tidak
memberitahuakan pada mereka bahwa sesungguhnya mereka itu suka mendengarkan
nabi-nabi dan orang-orang shalih sebelum mereka?
Firman Allah swt. dalam Surah al:An’am: ayat
82:
الَّذِيْنَ آمَنُوْاوَلَمْ يَلْبِسُوْا اِيْمَانَهُمْ
بِظُلْمٍ اُوْلئِكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ . [ الانعام :82]
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam
kitab Shahihain dari Ibnu Mas’ud ra. Bahwasanya ketika turun ayat ini para sahabat
resah dan mereka bertanya kepada Nabi saw. : “Siapakah di antara kami yang
tidak berbuat dhalim pada diri kami sendiri?”. Kemudian Rasul menjawab:
Kedhaliman disini bukan seperti yang kalian pahami, tapi sebagaimana yang
dikatakan pada Luqman:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ . [ لقمان :13]
Bahwa yang dimaksud dengan kedhaliman disini yaitu
Syirik.[3]
3. Taudhih al-Mubham (Menjelaskan Sesuatu yang Masih Samar)
Firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah: ayat 136:
قُوْلُوْا امَنَّا بِاللهِ وَمَااُنْزِلَ اِلَى اِبْرَاهِيْمَ
وَاِسْمَاعِيْلَ وَاِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَااُوْتِىَ مُوْسَى وَعِيْسَى
وَمَااُوْتِىَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَبِّهِمْ لَانُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِنْهُمْ
وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُوْنَ . ( البقرة :136 )
“Katakanlah:
“Kami beriman kepada Allah swt. dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan
kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak
cucunya. Dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa
yang diberikan kepada nabi-nabi dari tahun mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang
pun di antara mereka dan kami berserah diri kepada-Nya.”
Dalam
ayat diatas Rasulullah saw. menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “al-asbath” adalah anak dari ya’qub yang berjumlah 12
mereka adalah : Yusuf, Rubail, Syam’un, Walawi, Yahuda, Dhani, Naftali, Jada,
Asyiro, Yashju, Royalun, Benyamin.
Firman
Allah swt dalam surah at-Taubah: ayat 101:
سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّوْنَ اِلَى
عَذَابٍ عَلِيْمٍ . ( التوبة :101 )
Artinya
: "Nanti mereka akan Kami azab dua kali kemudian mereka akan
dikembalikan kepada azab yang besar."
Sahabat
Ibnu Abbas RA menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan azab dua kali dalam ayat
tersebut, yang pertama adalah azab dunia berupa dibukanya aib orang-orang
munafik oleh Rasulullah di muka umum dan yang kedua adalah azab kubur. Sedang
azab yang besar adalah azab di akhirat.[4]
4. Takhshish al-‘Am (Mengkhususkan Hal yang Masih Umum)
Surah al-Baqarah: ayat 257:
اللهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ
الظُّلُمَاتِ اِلَى النُّوْرِ, والَّذِيْنَ كَفَرُوْا اَوْلِيَاءُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمَاتِ,
اُوْلئِكَ اَصْحَابُ النَّارِ, هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ . ( البقرة :257 )
"Allah pelindung
orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran)
kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah
syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran).
mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya".
Ayat ini ditakhsis oleh hadits Nabi yang diriwayatkan
dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. melarang jual beli janin binatang yang
masih dalam kandungan, seperti tradisi jual beli orang Jahiliyah. Biasanya
seseorang membeli seekor onta sampai onta itu lahirkan, kemudian anaknya itu
beranak pula.[5]
Firman Allah
dalam Surah Ali ‘Imran: ayat 173:
الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا
لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيْلُ . ( ال عمران :173 )
"(yaitu)
orang-orang (yang mentaati Allah dan rasul) yang kepada mereka ada orang-orang
yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia Telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, Karena itu takutlah kepada mereka", Maka perkataan itu
menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi
penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung".
Ayat di atas ditakhsis oleh hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir bahwa yang dimaksud dengan lafadz “an-nas” pertama
adalah Nu’aim bin Mas’ud, sedang yang dimaksud dengan lafadz “an-nas” yang
kedua adalah Abu Sufyan.
Firman Allah dalam Surah al-Baqarah: ayat 275:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا . ( البقرة :275 )
“Dan
Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat di atas ditakhsis oleh hadits nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Baihaqi dari Abi Sa’id bahwa:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الدِّرْهَمِ بِالدِّرْهَمَيْنِ .
“Nabi saw. melarang jual beli satu dirham dengan dua diham”.
5.
Taqyid al-Muthlaq (Membatasi Kandungan Ayat yang Masih Bersifat
Mutlaq)
Firman Allah dalan Surah al-Baqarah: ayat 185:
وَمَنْ
كَانَ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامٍ أُخَرَ . ( البقرة
:185 )
“Maka barang siapa di
antara kamu sakit atau dalam perjalanan (atau tidak berpuasa), maka (wajib
mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak puasa itu) pada hari-hari yang lain.”
Ayat
yang bersifat mutlaq ini hanya menyebutkan bahwa seseorang harus mengqada’
puasa ramadhan jika dia meninggalkan puasa gara-gara sakit atau ketika dalam
perjalanan. Namun dalam suatu riwayat dari Ibnu Umar berkata : bahwa Rasulullah
saw. Bersabda:
قَضَاءُ
رَمَضَانَ إِنْ شَاءَ فَرْقٌ وَإِنْ شَاءَ تَابِعٌ .
Dan
diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Ibnu Abbas berkata: “Tidak apa-apa
mengqada’ puasa ramadhan tidak berturut-turut karna firman Allah swt:
6.
Menjelaskan Makna Lafadz Ayat yang Gharib
Rasulullah Juga menjelaskan lafadz-lafadz yang gharib. Di
antaranya adalah:
Kata syajarah dalam surah Ibrahim: ayat 24-25:
أَلَمْ
تَرَكَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةً طَيِّبَةً أَصْلُهَا
ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى السَّمَاءِ. تُؤْتِى أُكُلَهَا كُّلَ حِيْنٍ بِاِذْنِ
رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ . (
إبراهيم :25-24 )
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka
selalu ingat."
Dalam ayat di atas, Rasulullah memberikan penjelasan
bahwa yang dimaksud dengan lafadz “syajarah” adalah pohon kurma.
Kata muhl dalam Surah al-Ma’arij: ayat 8:
يَوْمَ
تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ . ( المعارج :8 )
"Pada hari ketika langit menjadi seperti
luluhan perak".
Dalam ayat di atas, Rasulullah memberikan penjelasan
dalam haditsnya yang berbunyi:
كَعَكَرِ الزَيْتِ فإِذَا قَرَّبَهُ اِلَى وَجْهِ سَقَطَتْ فَرْوَةُ وَجْههِ فِيْهِ
.
“(Yang
dimaksud dengan kata muhl adalah) seperti endapan minyak. Jika cairan itu
didekatkan ke wajah seseorang, maka kuli kepalanya akan terkelupas”.[7]
Kata bidh’i sinin dalam Surah ar-Rum: ayat 3-4:
فِى
أَدْنَى الْاَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَ. فِى بِضْعِ
سِنِيْنَ لِلّهِ الْاَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ
الْمُؤْمِنُوْنَ . ( الروم :4-3 )
“Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah
dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi. bagi Allah-lah
urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). dan di hari (kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman”.
Disebutkan dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas dari
Rasulullah tentang makna bidh’i. Riwayat tersebut adalah sabda Rasul yang
berbunyi:
إنَّ البِضْعَ مَا بَيْنَ ثَلَاثٍ اِلَى تِسْعٍ .
“Sesungguhnya (yang dimaksud dengan bidh’i adalah) antara
tiga sampai sembilan (tahun).[8]
7.
Asbab al-Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu Hatim yang bersumber dari hasan, dikemukakan bahwa
seorang wanita mengadu kepada Nabi saw. karena telah ditampar oleh suaminya.
Bersabdalah Rasulullah saw: “Dia mesti diqishash (dibalas)”. Maka turunlah
Surah an-Nisa’: ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللهَ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَااَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَاللّاتِى تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ
فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ
فَلَاتَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا. (
النساء :34 )
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara
(mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
besar.”
Sebagai ketentuan mendidik istri yang menyeleweng.
Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut pulanglah ia dengan tidak
melaksanakan qishash.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i,
al-Hakim yang bersumber dari Ali, dikemukakan bahwa Abdurrahman bin ‘Auf
mengundang makan Ali dengan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minuman khamar
(arak, minuman keras), sehingga terganggulah otak mereka. Ketika tiba waktu
shalat, orang-orang menyuruh Ali menjadi imam, dan pada waktu itu beliau
membaca dengan keliru: “Qulya ayyuhal kafirun, laa ‘abudu mata’budun, wanahnu
na’budu mata’budun”. Maka turunlah surah
an-Nisa’: ayat 43:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لَاتَقْرَبُوْا الصَّلوةَ
وَاَنْتُمْ سُكَاري حَتَّى تَعْلَمُوْا مَاتَقُوْلُوْنَ وَلَاجُنُبًا اِلَّاعَابِرِى
سَبِيْلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوْا . ( النساء : 43)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”
Sebagai larangan shalat diwaktu mabuk.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan
at-Thabrani yang bersumber dari Abi Ishaq al-Anshari, dikemukakan bahwa seorang
laki-laki menghadap kepada Rasulullah swa. dan berkata: “Keponakan saya tidak
mau meninggalkan perbuatan haram”. Nabi bersabda: “Apa agamanya?”. Ia menjawab:
“Ia suka shalat dan bertauhid kepada Allah”. Bersabdalah Nabi: “Suruhlah ia
meninggalkan agamanya atau belilah agamanya!”. Orang tersebut melaksanakan
perintah Rasul tetapi keponakan itu menolak tawarannya, ia kembali kepada Nabi
saw.dan berkata: “Saya dapati dia sangat sayang dengan agamanya”. Maka turunlah
surah an-Nisa’: ayat 48:
إِنَّ اللهَ لَايَغْفِرُ اَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُوْنَ ذَالِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا.
( النساء : 48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh
ia Telah berbuat dosa yang besar.”
Sebagai penjelasan bahwa Allah mengampuni segala dosa
orang yang dikehendaki-Nya.[9]
8.
Nasakh Mansukh
Firman Allah dalam Surah al-An’am: ayat 145:
قُلْ
لاَاَجِدُ مَا أُوْحِىَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ اِلَّا اَنْ
يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
اَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. ( الانعام :145 )
“Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha penyayang".
Ayat di atas telah dinasakh oleh Hadits nabi yang berbunyi:
انَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه
وسلّم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السّبَاعِ وَكُلِّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيُوْرِ
“ Nabi saw. melarang memakan daging hewan yang yang mempunyai taring
dan burung yang mempunyai cakar.
Firman Allah dalam surat an-Nisa’: ayat 15:
وَاللّاتِى
يَأْتِيْنَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ اَرْبَعَةً
مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوْا فَأَمْسِكُوْهُنَّ فِى اْلبُيُوْتِ حَتَّى يَتَوَفّىهُنَّ
الْمَوْتُ اَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا . ( النساء : 15)
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita
itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan
lain kepadanya.”
Ayat di atas telah dinasakh dengan Hadits nabi yang
berbunyi:
خذوا عنّى, خذوا عنّى . قد جعل
الله لهنّ سبيلا : البكر بالبكر جلد مائة وتغريب عام , والثيب بالثيب جلد مائة
والرجم .
“ Ambillah dariku, ambillah
dariku. Allah telah memberi mereka jalan: perawan dengan perawan akan dicambuk
seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan seorang duda dengan
seorang duda dicambuk seratus kali dan dirajam.”
9.
Qira’at
Dalam Surah az-Zukhruf: ayat 57:
وَلَمَّا ضُرِبَ ابْنُ مَرْيَمَ مَثَلًا إِذَا قَوْمُكَ مِنْهُ
يَصِدُّوْنَ . ( الزخرف : 57)
“Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan
perumpamnaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya.”
Imam Nafi’ membaca يصُدُّون(dhammah pada huruf shad), sedangkan Imam
Hamzah membacaيصِدّون (kasrah pada huruf shad). Kedua bacaan
tersebut sama-sama mempunyai makna yang saling menjelaskan satu sama lain.[10]
Dalam Surah al-Baqarah ayat: 259:
وَانْظُرْ اِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ايَةً لِلنَّاسِ
وَانْظُرْ اِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا فَلَمَّا
تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ اَعْلَمُ اَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ . (
البقرة :259 )
“Dan
Lihatlah kepada keledai kamu (yang Telah menjadi tulang belulang); kami akan
menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah kepada tulang
belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali, Kemudian kami
membalutnya dengan daging." Maka tatkala Telah nyata kepadanya (bagaimana
Allah menghidupkan yang Telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Kata نُنشِزُها dalam ayat di atas dibaca oleh sebagian ahli
qira’atنُنشِرُها dengan mengganti huruf ز dengan ر.
Ahli qira’at yang membacanyaر dengan menggunakan adalah Ibnu Katsir, Nafi’,
Abu Amr, dan Ta’qub. Para imam qari’ selain mereka membacanya dengan نُنشِزُها dengan menggunakan ز.
Dalam Surah al-Maidah: ayat 6:
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى
الصَّلوةِ فَاغْسِلُوا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ . ( المائدة : 6)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki,”
Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Hamzah, dan ‘Asim membaca lafadz أرجلكم dengan kasrah lam (أرجلِكم). Sedangkan imam qari’ yang lain
membacanya dengan fathah lam (أرجلَكم).
C. PENUTUP
Demikian sebagian ayat yang dijelaskan oleh
Rasulullah saw. baik yang berupa ayat mujmal, musykil, mubham, mutlaq, muapun
masalah nasikh mansukh, asbab an-Nuzul, qira’ah, ataupun ayat-ayat yang gharib.
D. DAFTAR PUSTAKA
Ø
Al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail
bin Al Mughirah, Shahih Al- Bukhari, Daar Ibni Katsir, Al Yamamah: Beirut,
Juz III, th 1407 H/1987 M
Ø
As-Suyuti, Jalaluddin,
Al-Itqan fi ulumil Qur’an, Beirut: Darul Fajr li
Turots, cet 1, 2006 M
Ø
At-Tirmidzi, Abu
Isa Muhammad bin Isa, al-Jami
as-Shahih li Al-Tirmidzi,
Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1407 H/1418 M
Ø
Ismail,
Su’ban
Muhammad, Dirasat Haula al-Qur’an wa as-Sunnah, Maktabah
an-Nahdhah al-Misriyyah, Mesir.
Ø Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid
3, Kairo: Al-Maktabah al-Tsaqafi, 2001 M
Ø
As-Suyuthi,
Aburrahman bin Al Kamal Jalaluddin, Ad Duur Al Mantsur, Daar Al Fikr: Beirut, 1993 M
Ø
Al-Wahidi, Asbab
al-Nuzul, Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M
Ø
Al-Aki, Khalid Abdurrahman, Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu, Beirut: Dar al-Nafais, t.th
Ø
Abu
Muhammad bin Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Tafsir Ghorib al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1978
[2]
Abu Abdillah
Muhammad Bin Ismail bin Al Mughirah Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, Daar
Ibni Katsir: Al Yamamah, Beirut, Juz III, th 1407 H/1987 M, h. 155-156.
[3]
Su’ban Muhammad
Ismail, Dirasat Haula al-Qur’an wa as-Sunnah, Maktabah an-Nahdhah
al-Misriyyah, Mesir, h. 258-259.
[4]
Aburrahman
bin Al Kamal Jalaluddin As-Suyuthi, Ad Duur Al Mantsur,
Daar Al Fikr:
Beirut, 1993 M, h. 345
[6]
Katsir, Ibnu, Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 3, Kairo: Al-Maktabah al-Tsaqafi, 2001 M, h. 113
[7]
Abu Isa
Muhammad bin Isa At Tirmidzi, Jami At Tirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad
Syakir dkk, Daar Ihya At Turats, Beirut, Juz V, h. 98.
[8]
Abu Muhammad
bin Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Tafsir Ghorib al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1978, h. 67
[10]
Khalid Abdurrahman Al-Aki, Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu, Beirut: Dar al-Nafais, t.th, h.
428-429.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar