A.
Pendahuluan
Seluruh umat Islam
telah menerima paham, bahwa hadist Rosulullah Saw. itu sebagai pedoman hidup
yang utama setelah al-Quran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan dan hukum-hukum
yang masih bersifat umum yang kemudian tidak ada perincian setelahnya dari
ayat-ayat al-Quran, maka hendaklah dicari penyelesaiannya di hadist. Dan hadist
nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak
dapat diragukan lagi. Terlebih orang arab sangat menyukai hafalan, maka tidak
heran jika para sahabat terbiasa menghafal apa-apa yang Rosulullah ucapkan,
lakukan dan mereka mengisahkannya kembali. Setiap waktu hadist mengalami
perkembangan.
Sunnah Nabi bagi
mereka sangat terlampau penting untuk tidak dilengahkan atau dilupakan. Dan hal
ini sangat terlihat sebagai bukti terkuat dalam sejarah Islam dan menggagalkan
setiap usaha untuk merusaknya baik secara religius maupun historis.
Karena itu
sebab dan penjelasan tentang hadist selalu menarik untuk dikaji sejalan dengan
perkembangan nalar manusia yang semakin kritis. Dan tidak heran jika kemudian
banyak pihak yang ikut nimbrung dalam mengkritik hadits meskipun mereka tidak
faham ilmunya.
Dalam makalah
ini penulis akan memaparkan tentang ilmu syarh al-hadist, fiqh al-hadits, serta
sejarah perkembangannya.
B.
Pengertian Syarh al-Hadits
Kata syarah (syarh) berasal dari bahasa Arab شرح – يشرح - شرحا yang artinya menerangkan, membukakan, dan melapangkan.[1]
Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadits, sedangkan tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara
substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau pesan), tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir spesifik bagi
Al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an),
sedangkan istilah syarah (syarh) meliputi hadits (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadis) dan disiplin ilmu
lain.[2]
Sedangkan
secara istilah definisi syarah hadis adalah sebagai berikut:
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ
بَيَانُ مَعَانِي الْحَدِيْثِ وَاسْتِخْرَاجُ فَوَائِدِهِ مِنْ حُكْمٍ وَحِكْمَةٍ
Syarah hadis adalah menjelaskan makna-makna
hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.
Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadis, sedangkan
definisi syarah yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matannya,
adalah sebagai berikut:
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ
بَيَانُ مَايَتَعَلَّقُ بِالْحَدِيْثِ مَتْنًاوَسَنَدًا مِنْ صِحَّةٍ وَعِلَّةٍ
وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ اَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ.
Syarah hadis adalah menjelaskan keshahihan dan
kecacatan sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan
hukum dan hikmahnya.[3]
Dengan definisi
di atas, maka kegiatan syarah hadis secara garis besar meliputi tiga langkah,
sebagai berikut,
1)
Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadis, baik dari sisi sanad
maupun dari sisi matan, dan baik global maupun rinci. Hal ini meliputi
penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan
karakteristik para periwayatnya, serta analisis matan dari sisi kaidah-kaidah
kebahasaan.
2)
Menguraikan makna dan maksud hadits. Hal ini meliputi penjelasan
cara baca lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna
leksikal dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan.
3)
Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini
meliputi istinbat terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matan hadits,
baik yang tersurat maupun yang tersirat.[4]
Syarah hadits
juga berarti meneliti, kemudian menjelaskan setiap komponen yang terdapat pada
sebuah hadits. Secara umum, para ulama hadits menjelaskan ada dua komponen yang
terdapat pada sebuah hadits yakni sanad dan matan. Sanad adalah rangkaian
perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya. Sedangkan matan adalah
redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.[5]
C.
Sejarah Perkembangannya
Sejarah
perkembangan syarah hadis, tentu sangat mengikuti perkembangan hadits. Artinya,
perkembangan syarah muncul setelah perkembangan hadits sudah mengalami beberapa
dekade perjalanan. Dengan dasar ini sehingga para ulama terkadang berbeda dalam
menentukan lahirnya syarah hadits. Di antaranya Hasbi al-Shiddieqy yang
memposisikan perkembangan syarah hadits pada periode ketujuh, periode terakhir
dari periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits yang dibuatnya.
Ketujuh periode
yang dibuat Hasbi al-Shiddieqy adalah sebagai berikut: 1) Kelahiran hadits
hingga Rasulullah wafat; 2) Pembatasan riwayat; 3) Perkembangan periwayatan dan
perlawatan mencari hadits, sejak 41 H sampai akhir abad ke-1 H; 4) Pembukuan
hadits, selama abad ke-2 H; 5) Penyaringan dan seleksi hadits, selama abad ke-3
H; 6) Penghimpunan hadits-hadits yang terlewatkan, sejak awal abad ke-4 H, sampai tahun 656 H; 7)
Penulisan kitab-kitab syarah, kitab-kitab takhrij, dan sebagainya, sejak pertengahan
abad ketujuh Hijriah.[6]
Selain Hasbi
al-Shiddieqy, terdapat ulama lain yang relatif objektif dalam memposisikan
syarah hadits dalam preodisasi perkembangan hadits dan ilmu hadits, yaitu
Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli. Ia membaginya menjadi lima periode, dan
periode terakhir adalah sistematisasi, penggabungan, dan penulisan kitab syarah
sejak abad ke-4 Hijriah.[7]
Sedangkan
penulis yang melakukan periodisasi sejarah perkembangan ilmu hadits adalah
Nuruddin ‘Itr. Ia membagi sejarah perkembangan ilmu hadits menjadi tujuh tahap,
yaitu: 1) kelahiran ilmu hadits, sejak masa sahabat hingga tahun 100 H; 2)
Penyempurnaan, sejak awal abad kedua hingga awal abad ketiga Hijriah; 3)
pembukuan ilmu hadits secara terpisah, sejak abad ketiga sampai pertengahan
abad keempat Hijriah; 4) penyusunan kitab-kitab induk ilmu hadits, sejak
pertengahan abad keempat sampai abad ketujuh Hijriah; 5) Pematangan dan
penyempurnaan pembukuan ilmu hadits, sejak akhir abad ketujuh sampai abad
kesepuluh Hijriah; 6) Kebekuan dan kejumudan, abad kesepuluh sampai abad
keempat belas Hijriah; 7) kebangkitan kedua, abad keempat belas dan seterusnya.[8]
Akan tetapi
karena kegiatan mensyarah hadits sebenarnya secara praktis telah terjadi pada
saat kelahiran hadits itu sendiri, yaitu oleh Rasulullah secara lisan dan
dilanjutkan pada masa sahabat oleh para ulama mereka, maka periodisasi sejarah
perkembangan syarah hadits tampaknya perlu dibedakan dengan periodisasi sejarah
perkembangan hadits dan ilmu hadits. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa syarah
hadits secara lisan sering dilakukan Rasulullah Saw. dan para sahabat. Bila
demikian, periode sejarah perkembangan syarah hadits secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu syarah hadits pada masa kelahiran hadits (fi
‘ashr al-risalah), syarah hadits pada masa periwayatan dan pembukuan hadits
(fi ‘ashr al-riwayah wa al-tadwin), dan syarah hadits setelah pembukuan
hadits (ba’da al-tadwin).
a.
Syarah Hadits pada Masa Kelahirannnya (Fi ‘Ashr al-Risalah)
Masa kelahiran hadits sama dengan masa turunnya al-Qur’an, atau
selama Nabi Muhammad mengemban risalah yaitu sejak diangkat menjadi nabi dan
rasul hingga ia wafat. Segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi merupakan
bayan kepada umatnya. Akan tetapi tidak semua sahabat mampu memahami setiap
ucapan Nabi dengan baik, sehingga mereka menanyakan makna kata-kata tertentu
secara langsung kepada Nabi atau kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan
syarah hadits telah terjadi pada masa kelahiran hadits itu sendiri, dan pensyarahnya
adalah Rasulullah.[9]
b.
Syarah Hadits pada Masa Periwayatan dan Pembukuan Hadits (Fi
‘Ashr Al-Riwayah wa al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan hadits pada masa periwayatan dan pembukuan
hadits adalah kegiatan syarah hadits yang dilakukan secara lisan atau tulisan
sejak masa sahabat hingga memasuki masa penulisan kitab-kitab syarah, yaitu
dari dasawarsa kedua abad pertama Hijriah hingga akhir abad ketiga Hijriah.
Periode ini dinamai masa periwayatan dan pembukuan hadits karena kedua kegiatan
tersebut tidak pernah dapat dipisahkan, setidaknya selama batas waktu tersebut
periwayatan dan pembukuan hadits berjalan seiring, karena periwayatan hadits
juga berlangsung berdasarkan hafalan dan tulisan. Apabila periode ini diakhiri
dengan munculnya kitab syarah, maka periode ini dapat berakhir pada akhir
pertengahan abad keempat Hijriah, yaitu dengan lahirnya kitab syarah Shahih al-Bukhari
yang tertua berjudul A’lam al-Sunan karya al-Khaththabi (w. 388 H).[10]
c.
Syarah Hadits Pasca Pembukuan Hadits (Ba’da al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan periode pasca pembukuan adalah berakhirnya
penulisan-penulisan kitab-kitab hadits yang termasuk kategori al-Mashadir
al-Ashliyyah, yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan hasil pencarian dan
penelusuran hadits oleh penulisnya dengan sanad-nya sendiri, bukan kumpulan
kutipan-kutipan hadits dari berbagai kitab, bukan himpunan di antara dua kitab
atau lebih, dan bukan pula ringkasan dari kitab-kitab yang lain. Dasar
pemikiran dari pembatasan awal periode ini adalah karena berakhirnya pembukuan
hadits, maka penulisan syarah terhadap hadits tidak lagi tercakup dan menyatu
dengan matan hadits seperti pada masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, apabila
dilihat dari kitab hadits yang terakhir disusun, maka periode ini berawal pada
pertengahan –bahkan mungkin awal− abad kelima Hijriah, yaitu dengan disusunnya
al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqiy (w. 458 H). Namun, apabila dilihat dari
munculnya kitab syarah, boleh jadi periode ini berawal sejak pertama kali
munculnya kitab syarah yang dikenal dengan sebagai kitab syarah tertua yaitu
A’lam al-Sunan karya al-Khaththabi (w.
388 H), yaitu syarah terhadap shahih al-Bukhari. Hal ini sesuai dengan periodisasi
menurut al-Khuli di atas.[11]
D.
Pengertian Fiqh al-Hadis
Fiqh al-Hadits
terdiri dari dua kata yaitu: fiqh dan al-Hadits.
a)
Fiqh adalah العلم
بالشيء و الفهم له ( mengetahui sesuatu dan memahaminya).
Al-Fairuz Abadiy mendefinisikan kata ini dengan العلم بالشيء والفهم له
والفطنة وغلب على الدين لشرفه (mengetahui sesuatu dan memahaminya,
kecerdasan, dan pengetahuan itu menguasai ilmu agama karena kemuliannya).[12]
b)
Kata al-Hadits secara literatur berarti informasi atau komunikasi
yang bersifat umum. Ini sesuai dengan ungkapan Ibn Manzhur kata al-Hadits
berasal dari حدث-
يحدث-حدثا yang berarti kabar atau
berita yang banyak atau yang sedikit.[13]
Sedangkan
secara terminologi al-Hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, bentuk
fisik, sifat, serta sejarah hidup yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik
setelah diutus maupun sebelumnya.
Sedangkan kata
fiqh al-hadits menurut Abu Yasir al-Hasan al-Ilmy adalah:[14]
فقه الحديث النبوي معناه فهم مراد النبي صلى
الله عليه و سلم من كلامه.
Fiqh al-Hadits
al-Nabawiy artinya adalah memahami maksud dari perkataan Nabi Saw.
Sedangkan
menurut pendapat lain adalah[15]:
فقه الحديث هو فهم مراد النبي من كلامه واستخراج معناه.
Fiqh al-Hadits adalah memahami maksud dari perkataan Nabi Saw.
dan mengeluarkan maknanya.
Jadi makna yang
diungkapkan ini bukanlah makna fiqh yang dikenal oleh kalangan fuqaha’. Makna
yang di kemukakan oleh Abu Yasir adalah makna yang mencakup semua sunnah
Rasulullah Saw. dan makna inilah yang dimaksud oleh ulama-ulama hadis seperti
al-Bukhariy, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dll.
Berdasarkan
penjelasan definisi tersebut baik secara bahasa ataupun istilah, maka dapat
dipahami bahwa kata fiqh al-Hadits berarti memahami maksud dari perkataan Nabi
Saw. namun pengertian fiqh al-Hadits secara bahasa menurut penulis lebih
mencapai target yang dituju dari pembahasan ini karena yang dituju oleh
pemahaman ini bukan hanya perkataan Nabi Saw. saja, tetapi juga perbuatan dan
ketetapannya yang diungkapkan oleh sahabat. Selain itu dari definisi yang
dikemukakan oleh Thasy Kubra Zadah, pemahaman yang dituju hanya seputar
hadis-hadis yang bersifat syar’i, dalam hal ini terlihat pembatasan pemahaman
hadis hanya yang terkait dengan bidang hukum saja, padahal yang perlu dipahami
oleh umat tidak hanya seputar wilayah hukum, karena Rasulullah Saw adalah
teladan bagi umat manusia, sehingga segala sesuatunya yang muncul dari perilaku
Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sikap hidupnya
dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi pedoman bagi manusia. Selain itu
bertujuan agar umat tidak salah dalam menerapkan hadis Nabi Saw, karena tidak
semua hadis tersebut harus dilakukan oleh umat terutama hal yang dikhususkan
untuk Nabi Saw.
Jadi Fiqh
al-Hadits menurut penulis berarti pemahaman terhadap ucapan, perbuatan, sifat,
ketetapan, dan juga sejarah hidup Nabi Saw. yang disampaikan oleh sahabat.
E.
Sejarah Perkembangannya
Perkembangan
dan Sejarah fiqh al-Hadits dapat di perhatikan sebagaimana berikut ini, yaitu:
1)
Pada masa Nabi Saw.
Pada masa ini, para sahabat telah melakukan usaha untuk memahami
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Saw, baik itu ketika menghadiri
majelis Nabi Saw, maupun dalam kesehariannya. Salah satu usaha yang dilakukan
oleh para sahabat adalah dengan menanyakan nya langsung kepada Nabi Saw. Ini
dapat dibuktikan dengan pertanyaan sahabat kepada Nabi Saw terhadap apa yang tidak mereka
pahami dari apa yang telah disampaikan oleh Nabi Saw. Contohnya adalah perkataan
Nabi Saw., yang di riwayatkan oleh al-Tirmidziy berikut ini;[16]
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى
مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ
إِلَىَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ
وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ
عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ «
الْمُتَكَبِّرُونَ »
Artinya
: ... Dari Jabir Bahwa Rasulullah Saw. bersabda; Sesungguhnya orang yang paling
aku cintai dan orang yang paling dekat dengan majelisku di hari kiamat adalah
orang yang paling baik akhlaknya dan sesungguhnya orang yang paling benci
kepadaku dan paling jauh dari majelisku di hari kiamat adalah orang yang
cerewet, orang-orang yang malas bicara, lalu sahabat bertanya siapakah
al-Mutafayyiqun itu? Rasul menjawab yaitu orang-orang yang sombong.
Dalam hadis ini terlihat bahwa sahabat meminta atau menanyakan
langsung kepada Nabi Saw. terhadap kata-kata yang tidak dimengerti atau tidak
dipahami oleh sahabat maknanya. Ini adalah diantara salah satu bentuk pemahaman
terhadap hadis dengan mengetahui makna dari kata asing yang terdapat dalam
hadis Nabi Saw., atau dengan mengetahui Asbab al-Wurud al-Hadits, Nasikh dan
Mansukhnya, penguasaan para sahabat terhadap biografi kehidupan Nabi, atau
dengan kondisi-kondisi lain yang mendukung pemahaman terhadap hadis Nabi Saw.
tersebut.
2)
Pada masa Sahabat
Setelah Nabi Saw. wafat, para sahabat merupakan tempat bertanya
bagi masyarakat, karena para sahabat merupakan orang yang pernah hidup bersama
Nabi Saw, dan mereka sahabat merupakan pewaris dari Nabi Saw. Jika ada
persoalan agama pada umumnya, khususnya hadits masyarakat lansung bertanya
kepada sahabat.
Dimasa sahabat, Fiqh al-Hadits belum dirumuskan secara terperinci.
Namun, usaha untuk mencari pemahaman yang benar dari hadis tetap dilakukan oleh
para sahabat, apalagi kondisi ini didukung oleh tersebarnya Islam ke luar
wilayah Arab.
Masa sahabat menampakkan perbedaan dari masa Nabi karena pada
sahabat telah mengarahkan perhatiannya terhadap pengumpulan dan pembukuaan
al-Qur’an serta juga usaha untuk mentadabbur (meneliti dan memahami ) sunnah.
Hal ini terlihat dalam usaha mereka mengikuti Umar dengan sedikitnya
meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. Menurut Umar, jika periwayatan telah banyak
maka orang akan menjadi lalai, sehingga akan terabaikan pemahaman dan
dirayahnya, sedangkan jika periwayatan sedikit maka orang akan berusaha untuk
memahami dan menjaganya. Ibn Abd al-Bar berpendapat bahwa hal ini terjadi
karena mereka takut akan terjaadi kedustaan terhadap Rasulullah dan takut umat
akan sibuk untuk mentadabbur (meneliti dan memahami) sunnah dari pada
al-Qur’an.[17]
Setelah itu para sahabat juga telah berupaya mengistinbathkan
(mengambil ketetapan) hakum dan mengetahui makna-makna yang terkandung dalam
sunnah, tetapi di sisi lain mereka tidak menyibukkan diri untuk mengetahui
kaidah-kaidah bahasa dan cara-cara untuk menetapkan dalil karena itu adalah
sesuatu yang mudah bagi mereka.
3)
Pada masa Tabi’in dan sesudahnya
Islam semakin berkembang dan umatnya tersebar di berbagai penjuru
negeri. Perkembangan Islam sesuai dengan perkembangan zaman, ini menuntut
pemeliharaan dan pemahaman yang benar terhadap hadis Rasulullah SAW. Kondisi
ini dilatar belakangi oleh terjadinya pemalsuan hadis Nabi SAW dan
berkembangnya ilmu pengetahuan. Untuk menghindari pemahaman yang tidak benar
dan ke tidak otentikkan sebuah hadis, maka para tabi’in setelah sahabat
melakukan berbagai upaya pemeliharaan terhadap hadis dan membuat karya-karya
yang mendukung untuk memahami hadis yang menjadi sumber kedua dari Hukum Islam.
Diantara usaha yang dilakukan oleh para tabi’in adalah dengan menyusun karya
yang berkaitan dengan ilmu hadis, dan pemahaman hadis (fiqh hadits) seperti
ditulis oleh Imam Malik dengan karya al-Muatha’.
Menurut Abu Yasir bahwa kondisi fiqh al-Hadits pada masa Tabi’in
ini cukup berkembang, ini terlihat dari usaha yang telah melakukan upaya-upaya
untuk dapat memahami hadis dengan baik dan benar, sehingga hadis Nabi SAW dapat
dipahami kandungan dari hadis apakah hadis tersebut bersifat hukum atau tidak.
Secara ringkas dapat di katakan bahwa ini didukung oleh:
a.
munculnya keinginan untuk menggunakan kaidah fiqh al-Hadits
b.
meluasnya permasalahan khilafiyah dalam memahami hadis
c.
berkembangnya pembukuan terhadap sunnah atau hadis.
F.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas maka dapat disimpulakan bahwa syarh al-hadis dan fiqh al-hadis
memiliki kaitan yang sangat erat sekali, dimana syarah hadis merupakan hasil
Transformasi dari Fiqh hadis atau pemahaman terhadap hadis.[18]
Fiqh Hadis lebih bersifat konseptual dan dalam penjelasanya bersifat lisan.
Sedangkan istilah Syarah bersifat kongkrit operasional yang berwujud tulisan
dalam beberapa kitab yang berisi penjelasan ulama dari hasil pemahaman mereka
terhadap suatu Hadis.
Syarah tidak hanya berupa uraian
dan penjelasan terhadap suatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan
penjelasan terhadap sebagian dari kitab, bahkan uraian terhadap satu kalimat
atau suatu hadis, juga disebut dengan syarah. Maka dari itu apabila dikatakan
syarah suatu kitab tertentu, seperti syarah Shahîh al-Bukhârî, syarah Alfiyyah
Al-`Irâqî, dan syarah Qurrat al-`Ayn, maka yang dimaksud adalah
syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan
“syarah hadis” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatu
hadis tertentu, yaitu ucapan, tindakan, atau ketetapan Rasulullah Saw. beserta
sanadnya.
G.
Daftar Pustaka
Abu Yasir al-Hasan al-‘Ilmy, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah:
Dirayah wa Tanzilan, Disertasi: t.tp, t.th
al-Jawābī, Muhammad Thāhir, Juhȗd al-Muhaddītsīn fi Naqd Matn
al-Hadīts al-Nabī al-Syarīf, Tunisia, t.th
al-Khatib, Ajaj, Ushul al-Hadits, Jakarta: GMP, 2007
al-Khulli, Muhammad ‘Abd al-‘Aziz, Tarikh Funun al-Hadits, Jakarta:
Dinamika Berkah Utama, t.th
al-Mishri, Muhammad bin Mukarram bin
al-Manzhur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Jilid II, Beirut: Dar Shadir, t.th
Ali, Nizar, (Ringkasan Desertasi) Kontribusi
Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis, Yogyakarta, 2007
Nurkholis, Mujiono, Metodologi Syarah Hadist, Bandung:
Fasygil Grup, 2003
‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Beirut:
Dar al-Fikr, 1979
[1] Muhammad bin Mukarram bin al-Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan
al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t.t), Jilid II, hlm. 497-498
[2] Nizar Ali, (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam
Penulisan Syarh Hadis, (Yogyakarta, 2007), h. 4
[3] Mujiono
Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003),
h. 3
[4] Mujiono
Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, h. 4
[5] Ajaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Jakarta: GMP, 2007), h. 12
[6] Hasbi
al-Shiddieqy, sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang , 1980,
hlm. 46-47. Akan tetapi berdaskan fakta yang ada kitab syarah sudah ditulis
sejak abad ke-4 dengan tersusunnya kitab Ma’alim al-Sunan Syarah Sunan Abi
Dawud yang ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi
al-Busti (319-388 H).
[7] Muhammad ‘Abd
al-‘Aziz al-Khulli, Tarikh Funun al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah Utama,
t.t, hlm. 12
[8] Nuruddin ‘Itr,
Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979) h. 36-72
[9] Mujiyo
Nurkholis, Metode Syarah Hadits, h. 35-36
[10] Mujiyo
Nurkholis, Metode Syarah Hadits, h. 40
[11] Mujiyo
Nurkholis, Metode Syarah Hadits, h. 45
[12] Muhammad ibn al-Mukarram ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab,
(Bairut: Dar Lisan al-‘Arab, {t.th}), juz.III. h. 1120
[13] Majd al-Din Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abadiy, Al-Qamus
al-Muhith, (Bairut: Dar al-Jail, t.th), Juz 4, h. 291
[14] Abu Yasir al-Hasan al-‘Ilmy, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah:
Dirayah wa Tanzilan, (Disertasi: t.tp, t.th), h.14
[15] Ungkapan ini
dikutip oleh pemakalah dari Kitab Juhȗd al-Muhaddītsīn fi Naqd Matn
al-Hadīts al-Nabī al-Syarīf, h. 128
[16] Al-Tirmidziy,
Sunan al-Tirmidziy (Aplikasi Lidwa)
[17] Abu Yasir dari kitab Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadhlihi, untuk
lebih jelas lihat Abu Yasir, Op. Cit, h. 21
[18] Muhammad
Thāhir al-Jawābī, Juhȗd al-Muhaddītsīn fi Naqd Matn al-Hadīts al-Nabī
al-Syarīf, Tunisia, t.th, h. 129
Terima kasih..semoga Allah membalas kebaikanmu
BalasHapus