PENGERTIAN
PERS DAN SEJARAHNYA
- PENDAHULUAN
Pers merupakan media
komunikasi yang mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Setiap
pemberitaan yang diterbitkan oleh pers itulah yang membuat masyarakat mau tidak
mau terpengaruh Bentuk media komunikasi tersebut adalah elektronik dan cetak.
Contoh media cetak seperti: koran, majalah, artikel, dan lain-lain. Sedangkan
media elektronik di antaranya radio, film, televisi, dan internet. Dari dua
contoh tadi, jelas itu menimbulkan dua pengertian pers yaitu yang pertama,
dalam arti kata sempit pers adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi yang
hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti
kata luas adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan
media cetak maupun media elektronik.
Pers
Indonesia berkembang pasca Orde Baru untuk menjamin kebebasan pers yang
bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat dari informasi yang sesuai dengan
etika dan moralitas masyarakat. Di satu sisi, ini merupakan pembebasan pers
yang mengutamakan etika yang berkembang di masyarakat. Di sisi lain, Sistem
Pers Indonesia menjadi alat kritik yang berlebihan dan tidak sesuai dengan
etika terhadap pemerintahan pasca Orde Baru. Jelasnya, Sistem Pers Indonesia
pasca Orde baru menyimpang dari sistem awalnya yang seharusnya mengutamakan
etika tetapi malah menjadi berlebihan dalam pemberitaan sehingga menimbulkan
immoralitas.
Berdasarkan latar belakang
masalah/konteks di atas, pertanyaan mayor berkaitan dengan Sistem Pers
Indonesia pasca Orde Baru dan penyimpangannya. Dari pertanyaan mayor ini dapat
dikembangkan menjadi pertanyaan minor yang berhubungan dengan Sistem Pers yang
memang mengatur jalannya pers di Indonesia. Maka pertanyaan mayor dan minor
memerlukan jawaban dari beberapa pertanyaan. Jelasnya, Sistem Pers yang berisi
aturan dalam pers banyak menimbulkan banyak pertanyaan.
Dalam merumuskan kedua
pertanyaan tersebut di atas, maka pertanyaannya terdiri atas mayor atau utama
dan minor atau turunan. Pertanyaan mayor atau utama adalah bagaimana
perkembangan Sistem Pers Indonesia? Kemudian pertanyaan minor atau turunan
adalah siapakah yang memengaruhi SPI? Di manakah Posisi SPI? Apakah yang
menjadi landasan SPI?
Perkembangan
Sistem Pers Indonesia memang membawa dampak yang sangat besar. Diawali dari
tumbangnya rezim Orde Baru yang menandai awal perubahan Sistem Pers Indonesia.
Sistem Pers Indonesia mengalami perkembangan, yang sebelumnya pers dikuasai dan
dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah. Sebelum penerbitan berita oleh pers, pers
harus melewati salah satu lembaga yang dibuat pemerintah untuk perizinan
penerbitannya yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP). Sehingga pers
yang tidak pro terhadap pemerintahan maka akan dibredel. Namun hal itu
berbanding terbalik sejak Orde Baru runtuh pemerintah menjamin penuh kebebasan
pers yang termaktub dalam UU pokok pers namun sesuai dengan koridor-koridor
yang ditentukan. Koridor yang ditentukan berdasarkan tanggung jawab pers dalam
pemberitaan. Pemberitaan yang beretikalah yang menjadi landasan utama Sistem
Pers Indonesia.
Namun di balik hal itu, kadang
kala ada di antara salah satu pers yang berlebihan dalam pemberitaan yang
sifatnya destruktif/menjatuhkan dan tidak sesuai dengan fakta yang ada di
masyarakat. Dan hal ini bertentangan
dengan UU pokok pers No. 21 Tahun 1982 yang menyebutkan bahwa pers mempunyai
hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat kontruktif yaitu membangun.
Jelasnya, SPI pasca Orde Baru harus bertanggung jawab.
B. PENGERTIAN PERS DAN
SEJARAHNYA HINGGA SAMPAI Ke INDONESIA
Seiring dengan
ditemulkannya mesin cetak munculllah istilah Pers(Belanda) atau Pres(Inggris).
Dari segi bahasa(etimologis) pers/pres
artinya menekan/pressing, karena
mesin cetak menekan kertas untuk memnculkan tulisan. Dan Istilah Pers sendiri baru muncul setelah J
Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1456[1]
yang tugasnya untuk menekan mesin cetak supaya menghasilkan tulisan, yang pada
awalnya diartikan sebagai persuratkabaran. Namun belakangan ini ada yang
mengartikan media elektronik adalah bagian termasuk dari pers[2].
Dari sini bisa kita ketahui bahwasannya secara umum, pengertian Pers terbagai menjadi 2 bagaian. Yaitu;
pers dalam arti sempit dan pers dalam arti yang lebih luas. Dalam arti yang
sempit Pers diartikan sebgai kegiatan
komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan dalam
arti yang luas merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan baik dengan barang
cetakan maupun media elektronik seperti; radio, tv, maupun internet[3].
Meskipun mesin cetak telah
ditemukan, akan tetapi surat kabar belum ditemukan/muncul. Hingga samapi abad
ke 17 surat kabar masih belum muncul di Eropa, hingga pada akhirnya
ditemukanlah beberapa surat kabar yang diketahui sebagai sejarah munculnya
jurnalisme, antara lain[4]:
Ø Mercurius Gallobelgius(Collonge, 1592) merupakan
penerbitan periodic pertama di dunia. Dan ini merupakan penerbitan semi tahunan
yang disebarkan pada pameran buku.
Ø The Oxford Gazzete(1665) adalah penerbitan surat
kabar secara rutin. Awal munculnya di pengadilan Oxford untuk menghindari
wabah/gangguan di London.
Perkembangan selanjutnya diikutinya atau
ditemukannya mesin rotasi/silinder oleh Wiliam Bullock di Philadelpia pada
tahun 1863. Dengan ditemukannya mesin rotasi tersebut proses percetakan menjadi
cepat dan mudah. Setelah itu,
perkembangan selanjutnya diikuti oleh perkembangan percetakan yang menggunakan set Linotip yang diciptakan oleh
Mergethaler. Dengan ditemukannya mesin ini, maka percetakan tidak lagi
menggunakan huruf-huruf terpisah seperti pada percetakan sebelumnya, melainkan
menggukan satu set huruf yang disatukan.
Dengan demikian, maka proses percetakan akan semakin mudah dan cepat, dan yang
pasti kualitasnya menjadi lebih baik.
Akan tetapi meskipun berbagai penemuan telah
berhasil ditemukan, namun itu semua belumlah cukup untuk menganggat surat kabar menjadi alat komunikasi masal
yang sesungguhnya. Dari sini diperlukannya alat atau media yang bisa menganggat
surat kabar tersebut supaya bisa menjadi media komunikasi masal, konsekwensinya
kebutuhan akan unsure politik, social, ekonomi, pendidikan, dan demografi
modern menjadi hal yang sangat penting untuk mempercepat proses Pers menjadi alat komunikasi masal yang
sesungguhnya. Dan yang pasti perkembangan Pers
di suatu Negara sanagt dipengaruhi oleh keadaan pemnerintah dan kondisi
masyarakatnya.
Salah satu Negara yang menjadi
acuan perkembangan pers didunia modern saat ini adalah Inggris. Dimana Koran
dinegara ini selalu menjadi acuan bagi Negara lain dalam mengetahui pasang surutnya
perkembangan surat kabar, bahkan di Amerika sendiri dipengaruhi oleh
perkembangn Koran yang ada di Inggris[5].
Dimana pada masa pemerintahan Raja Tudor
di Inggris berkuasa sampai akhir abad 15 telah menggunakan media masa cetak
sudah digariskana oleh sang Raja sebagai alat pendukung untuk melancarkan
politik pemerintah. Adapun pada saat itu masyarakat menggunakan filsafat Authoritarian political philosophy (keyakinan
yang menjadikan penguasa/raja sebagai wakil Tuhan) dan segala sesuatu adalah
milik raja. Adapun perkataan Raja adalah sebagai Privelege (hak istimewa) yang haru ssenantiasa dipatuhi dan
ditaati. Konsekwensinya Jika Raja berkehendak maka rakyat harus mendukungnya
dengan melaksanakannya. System seperti ini berlangsung hingga 2 Abad lamanya
yaitu samapai kekalahan politik Raja Charles I terhadap parlemen Inggris pada
tahun 1641. Sampai pada akhirnya baru pada tahun 1649 di Inggris berlaku
kebebasan dalam menyiarkan informasi.
Salah seorang yang getol menyuarakan kebebasan
berpendapat yaitu John Look salah seorang ahli filsafat. Hingga pada akhirnya
pada tahun 1695 muncullah jaminan atas kebebasan berpendapat. Sementara pada
akhir abad 19 di Inggris sudah mengalami perkembangan dalam dunia tulis
menulis, sehingga tidak ada lagi halangan yang berkaitan dengan surat kabar.
Menjelang abad 20 perkembangan surat kabar di Inggris di pengaruhi oleh Pers
di Amerika serikat. Dimana pada waktu itu surat kabar di Inggris lebih
mengedepankan/berorientasi pada pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan
yang selanjutnya disebut sebagai surat kabar yang berkualitas(quality newsppaper).
Diantara surat kabar yang terkenal pada waktu itu
antara lain adalah Tims yang direktur
utamanya adalah John Walter, kemudian diikuti lagi oleh surat kabar lainnya
seperti Daily, Telegrafh, Morning Post,
Manchester Guardian. Dengan dipengaruhinya surat kabar persebut dari pers
Amerika yang lebih mengutamakan keinginan/selera pasar, maka tujuan dan fungi
sebenarnya mulai terganggu. Dari sini bisa kita ketahui bahwa Pers di Amerika
lebih mengutamakan selera pasar atu dngan kata lain “memberikan sesuai dengan yang diharapkan pasar”.
Pengarus Pers Amerika tersebut dimulai dari
Alfred Charles yang menilai bahwa pers di Amerika cerdas dalam mengemas berita,
sehingga beritanya laku dipasaran meskipun pemeberitaan kecil namun bisa
menarik minat pembaca. Itulah sebabnya Alfred
tertarik untuk mengikuti metode-metode
yang digunakan Pers amerika dalam menarik perhatian pembaca. Dari sinilah
maka muncul pendapat “If a dog Bites a man it is not news, but is
a man bites a dog, that is new”(keyakinan pada pendapat itu
mengakibatkan media harus menyajikan sesuatu yang luar biasa).
Dalam perkembangannya Pers di Indonesia mulai berkembang semenjat adanya penjajahan yang di
lakukan oleh Belanda. Dalam hal ini setidaknya ada 5 fase perkembangan Pers di
Indonesia hingga sampai saat ini. Antara lain lima fase tersebut adalah:
Ø Pers Indonesia pada masa penjajajahn Belanda.
Munculnya Pers pada masa ini dinulai dengan terbitnya surat kabar untuk yang pertama
kalainya yaitu “memoria der Nouvells”. Dimana penulisannya masih menggunakan
tulisan tangan. Karena meskipun di Eropa telah ditemukan mesin cetak, namun
penguasaaannya/penggunaanaya hanya bisa dilakukan oleh para raja. Surat kabar
ini pertamakali terbit pada tahun 1615.
Sedangkan untuk pembacanya pun beragam, mulai dari orang betawi
sampai para pejabat VOC. Hal inilah yang
menjadikan para pembesar VOC bernama Jan Pieterzoom Coen untuk menerbitkan
surat kabar tersebut. Maka muncullah
Koran bernama MdN yang pada
akhirnya digunaan untuk mencapai tujuan
VOC untuk menguasai Indonesia.
Beberapa informasi yang
dimuat dalam Koran tersebut antara lain adalah: berita-berita pengumuman dari
pemerintah yang berisi tentang perdagangan, jadi antara judul dan isinya tidak
sesuai. Dari surat kabar ini bisa diketahui juga peranan kaum militer Belanda
dan sejarah agama Kristen di Indonesia.
Surat kabar ini hanya bisa bertahan sampai 2 tahun, meskipun izinnya
sampai 3 tahun. Hal tersebut karena De Heeren XVII pimpinan tertinggi VOC di
Belanda tidak suka dengan surat kabar tersebut. Surat kabar tersebut resmi
dibubarkan pada tanggal 22 Juni 1746. Hal tersebut sesuai dengan keputusan De
Heeren XVII di Negri Belanda pada tanggal 20 November 1744 yang menegaskan
bahwa surat kabar tersebut tidak boleh terbit lagi.
Hingga pada tahun 1775 pemerintah Hindia Belanja memberikan surat izin
Dominicu(salah seorang belanda dan pengusaha perctakan di batavia). Koran ini
mulai terbit lagi pada tahun1776. Dimana Koran tersebut memberikan informasi
kepada masyarakat mengenai kegiatan pemerintah yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Koran ini berhasil bertahan samapi pada tahun 1810. Hingga pada akhirnyya Koran
ini resmi dibubarkan ketikan pemerintahan Hindia Belanda jatuh ke Tanggan
Inggris. Dan Inggris sendiri menyadari pentinyya surat kabar sebagai media
informasi, maka Inggris sendiri menerbitkan surat kabar yang diberi nama “Java Gavermens Gazzate”,(29 februari 1812).
Dimana Koran tersebut digunakan
untuk mempulikasikan kebijakan pemerintah, bahkan diantara tulisan yang
lain ada yang mengritik kebijakan pemerintah[6].
Hingga pada akhirnya muncullahh beberapa surat kabar suata yang terbit untuk pertama kalainya
dengan menggunakan bahasa asli daerah. Diantara Koran tersebut antra lain
adalah; Soerabajsch
Advertentieblad(1835). Soerabajsch Nieus en Advertentieblad(1953) di Semarang,
De Nius bode(1961) di Bnadung, dan tentunya masih banyak lagi.
Ø Pers nasional masa penjajahan Belanda.
Dimana pada masa itu surat kabar di
Indonesia mengalami pasang surut. Sejarah Pers di Indonesia, tidak akan bisa
lepas dari peran masyarakatnya, artinya satiu dengan yang lainnya saling
mempengaruhi. Hingga pada akhirnya pada permulaan perang dunia II ada kurang lenih
sekitar 350 sampai 400 surat kabar, majalah mingguan dan bulanan. Meskipun pada saat itu ada larangan dari Pemerintah Hidia Belanda untuk
tidak menyebarkan perasaan permusuhan, maupun penghinaan terhadap pemerintah
Belanda. Hal tersebut tertuang dalam pasal 144 dan 145.
Ø Pers Indonesia dimasa Penjajahan Jepang.
Seperti pada sebelumnya ketika
pemerintahan Indonesia jatuh ditangan Jepang seketika itu juga maka surat kabar
maupun majalah yang sempat terbit pada masa pemerinthan Hindia Belanda resmi
dibubarkan. Hingga pada akhirnya majalah maupun surat kabar secara resmi
dikuasai oleh Jepang, diman mereka menjadikan tiap ibukota propinsinya sebagai
kantor berita. Dan tidak jauh dari masa pemerintahan Belanda, Jepnag juga
menjadikan surat kabar sebagai alat pemerintahan jepang untuk mesukseskan
program-program pemerintah yang pada intinya masyarakat diminta pro terhadap
pemerintahan yang dijalankan Jepang. Dan untuk mengontol atau mensensor semua
informasi yang akan dipublikasikan, mereka menempatkan pimpinan atau Shidoin
yang tugasnya mengawasi semua pekerjaan yang berkaitan dengan dunia tulis
menulis. Begitulah Jepang melakukan tekanan dan pengawasan terhadap pers di
Indonesia pada masa penjajahan jepang. Setelah jepang menyerah kepada sekutu 14
Agustus 1945 muncullah beberapa surat kabar yang diterbitkan oleh Regerings
Voorlichting Diest(RVD). Hingga pada akhirnya setelah terjadi kesepakatan
Roem-Royen (1949) surat kabar nasional mulai bangkit. Pelopor surat kabar setelah
Revolusi adalah Berita Indonesia(BI).
Ø Pers Indonesia menjelang Kemerdekaan.
Koran BI(berita Indonesia) yang menjadi
pelopor pertamakalainya setelah revolusi menjadikan Koran tersebut sebagai
surat kabar gelap/dicetak secara sembunyi-sembunyi. Dimana pendistribusiannya
dari tangan ke tangan hingga akhirnya menjadi rebutan rakyat. Koran ini dicetak
pertama kali sebanyak 5000 eksemplar dan selalu habis setiap kali terbit.
Ø Pers Indonesia 1950-159
Sejak 1950 berlakulah undang-undang
Repoblik Indonesia serikat (RIS). Dan beberapa bulan kemudian RIS dibubarkan
dan diganti dengan UUDS (undang-undang dasar sementara). Dan pada saat
itulah kebebasan Pers tercantum dalam UUDS, tepatnya pada bagian V yang
mengatur hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia yang terdiri dari pasal
7 sampai pasal 34.
Dimana pada masa pemerintahan itu
pemerintah masih kejam, dan banyak surat kabar yang dibredel serta banyak pula
wartawan yang ditangkap. Berdasarkan undang-undang tersebut maka
PERPERDA(Penguasa Perang Daerah) menetapkan keputusan bagi setiap penerbitasn
surat kabar dan majalah untuk dapat mendaftarkan diri sebelum tanggal 1 oktober
1958 kepada PERPERDA(Penguasa Perang Daerah). Dan ini dilakukan untuk
mendapatkan surat izin terbit(SIT). Meskipun demikian tidak selamanya surat
izin lansung diterbitkan, hal ini terbukti ketika harian Nindonesia Raya(HI)
begitu mengajukan SIT kepada PERPERDA(Penguasa Perang Daerah) tidak langsung
diberikan SIT. Dengan tidak diterbitkannya SIT, maka surat kabar tersebut tidak
bisa terbit lagi.
Tanggal 1 Oktober 1958 merupakan awal matinya kebebasan Pers di
Indonesia. Dimana penguasa pada saat itu telah menjadikan Pers sebagai alat
penguasa untuk memerdekakan tindakan-tindakan penguasa. Dan pada tahun inilah
sejarah hitam Pers Indonesia, dimana pada saat itu telah tercatat kurang lebih
42 peristiwa yang dialami Pers Indonesia, sebagain besar mereka mengalami
pembredelan, penahanan, dan penganiayaan wartawan.
Dalam sejarah kebebasan Pers di
Inodonesia 1950-1959 yang lazimnya diartikan sebagai kebebasan Demokrasi
Liberal yang digunakan sebbebas-bebasnya oleh Pers. Liberal pada saat itu
diartikan sebagai kebebasan politik(saling mencaci, memfitnah lawan politik)
serta sensai dan pornografi. Apalagi setelah munculnya Party Bound Press(pers
dibawah kendali partai politik), seperti Abadi(Masyumi), Duta Masyarakat (NU),
suluh Indonesia (PNI), harian Rakyat (PKI).
Begitulah sejarah pers mulai zaman klasik hingga modern, tepatnya ketika pers
tersebut masuk ke Indonesia yang mengalami pasang surut[7].
- SISTEM
PERS Di INDONESIA
Pers dan Negra bagaikan 2
mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dimana keduanya tak dapat dipisahkan
dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Pers baik yang berupa pemberitaan di
media cetak(koran,majalah) maupun di media teknologi( radio, televisi)
mempunyai porsi kegunaan masing masing.Di masa sekarang, pers menjadi media
pengawas pemerintahan yang mampu menjembatani antara pemerintah dan rakyatnya
dalam menciptakan suatu keadaan yang kondusif[8].
Pers sebagai media yang
mempunyai pengaruh besar dalam berbagai bidang kehidupan. Pers merupakan medium
pemberitaan paling penting yang memberikan informasi mengenai suatu kejadian
yang terjadi di berbagai belahan dunia baik yang berbau politik, ekonomi dan
sosial budaya.Era keterbukaan sekarang ini,membuat pers bebas untuk
menyampaikan segala hal yang terjadi tanpa takut dengan adanya pembredelan dari
pihak manapun termasuk pemerintah yang dapat menghambat penyampaian informasi
kepada masyarakat karena hal itu merupakan hak asasi suatu warga negara untuk
mendapatkan segala bentuk informasi
Pers sebagai media
pemberitaan mengalami lika liku perjalanan yang panjang seperti yang telah
penulis kemukakan dalam pembahasan Sejarah Pers sampai masuknya di Indonesia. “Pers selalu mengambil bentuk, warna dan
sruktur social dan politik dimana ia beroperasi”[9].
Salah
satu alasan kenapa
kita perlu mempelajari berbagai macam sistem pers adalah untuk mengetahui
sekaligus melakukan perbandingan antar-sistem pers. Di samping itu, agar kita
menjadi lebih tahu di mana posisi sistem pers Indonesia. Adapun 4 sistem Pers
yang berlaku didunia saat ini antara lain adalah[10]
a. Teori Otoriter (Authoritarian Theory).
Teori
atau sistem pers otoriter dikenal sebagai sistem pers paling tua, lahir abad 15-16 pada masa pemerintahan absolut[11]. Pada saat itu, pemerintah
menguasai sekaligus mengawasi media. Berbagai kejadian yang akan diberitakan dan
dikontrol pemerintah karena kekuasaan penguasa sangat mutlak. Negara (dengan
raja sebagai kekuatan) adalah pusat segala kegiatan. Karena itu, individu
tidaklah penting, yang lebih penting adalah negara sebagai tujuan individu.
Mussolini (Italia) dan Adolf Hitler (Jerman) adalah dua penguasa yang mewarisi
sistem pers otoriter.
Dalam sistem yang otoriter
maka media harus mendukung kebijakan pemerintah yang berkuasa. Di bawah
kebijakannya ini negara secara aktif berpartisipasi dalam proses komunikasi dan
menggunakan media massa sebagai alat penting untuk mencapai tujuannya.
b. Teori Liberal (Libertarian Theory).
Sistem
pers liberal (libertarian) berkembang
abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya
tuntutan kebebasan pemikiran di Barat yang disebut aufklarung
(pencerahan), dan mencapai puncaknya pada abad 19.
Esensi
dasar sistem ini memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini bahwa
manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya
secara baik jika diberikan kebebasan. Manusia dilahirkan sebagai makhluk
bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur sekelilingnya untuk tujuan yang mulia. Dan yang perlu
ditegaskna bahwasannya system ini tidak hanya menjadi alat pemeintah untukk
menyukseskan dan mendukung program-programnya, meliankan sebagai upaya
pencarian us kebenaran. Dan untuk mewujudkan kebenaran maka setiap gagasan
memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar akan
tetap dipercaya sedangkan yang salah akan lenyap dengan sendirinya. Dan dari
teori inilah, maka berkembannya tuntutan bahwa Pers harus mengasi pemerintah. .
Media
massa dalam konsep liberal berfungsi sebagai penyampai informasi dan hiburan
kepada masyarakat. Pers mendukung perkembangan ilmu dan ekonomi, yaitu fungsi
pemasaran dari barang-barang atau produk yang diiklankan.
Pers sebagai lembaga politik
(pengawas) yang bertugas menjaga agar pemerintah tidak melampaui batas
wewenangnya. Dalam sistem ini, media dikuasai swasta dan tidak menerima bantuan
pemerintah. Alasannya, dengan menerima bantuan, pemerintah akan menguasai
kegiatan perusahaan pers seperti halnya dengan konsep otoriter.
Menurut
anggapan konsep liberal, lebih sedikit keterlibatan pemerintah dalam kegiatan
komunikasi pers adalah lebih baik. Meski demikian, negara-negara yang menganut
konsep liberal masih dapat mengawasi pers melalui sistem pos yang
mendistribusikan media massa. Ada juga negara yang membatasi penggunaan telepon
dan telegram. Sistem lain adalah pengawasan melalui bsistem impor-ekspor bagi
media massa yang menggunakannya, terutama yang masih menggunakan pajak.
Di
samping sistem di atas, masih ada cara lain yang dapat dilakukan negara untuk
membatasi kebebasan pers, yaitu melalui sistem peradilan. Di Amerika Serikat,
kedudukan badan-badan peradilan di atas segalanya. Mereka tidak dapat mengadili
pers, dan dapat menentukan sejauhmana batas pemerintah dalam menerapkan
kekuasaannya.
c. Teori Komunis(Communist Theory)
Sistem
pers komunis (sering disebut sistem pers
“totaliter Soviet/Soviet Totalitarian” atau “pers Komunis Soviet/Soviet
Communist”) berkembang karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham
komunias pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1917 M.
Sistem
ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali
oleh dialektika Hegel.
Pers
dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian
integral dari negara. Pers menjadi alat atau organ partai yang berkuasa (Partai
Komunis Uni Soviet). Dengan demikian, segala sesuatu ditentukan oleh negara (partai). Kritik diizinkan sejauh
tidak bertentangan dengan ideologi
partai. Media massa melakukan yang terbaik untuk partai yang ditentukan oleh
pemimpin partai.
Menurut
sistem ini, pers harus melayani kepentingan kelas dominan dalam masyarakat,
yakni proletar. Pers harus menjadi collective propagandist, collective
agitator, collective organizer. Adapun kaum proletar diwakili oleh partai
komunis. Fungsi pers adalah indoktrinasi massa, pendidikan atau bimbingan massa
yang dilancarkan partai.
Tanggung
jawab utama untuk mengawasi pers Soviet ada di tangan partai, tidak pada
pemerintah. Partai melaksanakan pengawasannya dengan tiga cara. Pertama,
Departemen Propaganda dan Agitasi menempatkan redaksinya ke berbagai tingkatan
disertai penetapan tugasnya. Pemilihan redaksi didasarkan atas pertimbangan
bahwa secara politis mereka dapat dipercaya. Biasanya diambil orang dari partai
karena mereka lebih dipercaya kemampuan politiknya, di samping pengetahuannya
tentang Marxisme. Jadi, bukan atas dasar profesional. Kedua, Partai mengeluarkan sejumlah besar arahan
yang menentukan bahan penyajian untuk pers melalui Departemen Propaganda dan
Agitasi. Isinya sebagian besar merupakan bahan “siaran pers”, surat-surat dari
pimpinan partai, pemerintahan, pidato pejabat, dan dokumen resmi partai dan
pemerintah. Ketiga, partai berwenang mengkritik dan menilai pers
dengan tanggung jawab yang sangat serius. Ada sebuah komite pada tiap-tiap
tingkatan partai yang berwenang menilai
dan mengkritik pers sesuai tingkatannya.
Perbandingan dengan Teori Pers Otoriter
Meskipun
konsep pers komunis lahir dari pemikiran teori otoriter yang lahir sebagai
teori tertua, dalam perkembangannya antara kedua teori tersebut memiliki
perrbedaan sebagai berikut:
Ø
Dalam teori otoriter pers adalah alat
penguasa, sedang dalam teori komunis media adalah bagian dari partai yang
berkuasa dan merupakan milik negara.
Ø Pers otoriter melaksanakan
kepercayaan yang diberikan penguasa dengan memperoleh imbalan baik berupa
fasilitas maupun keuntungan. Pers
komunis motif tersebut ditiadakan, imbalannya adalah bentuk akibat pada pikiran
publik seperti sifat ortodoksnya dan keahliannya dalam mempropagandakan tujuan
partai.
Ø Pers otoriter tidak diizinkan
mengkritik kelemahan penguasa atau berfungsi negatif, pers komunis berfungsi
positif dalam arti bebas mengundang kritik dari penguasa dalam batas
meningkatkan program dan dan efisiensi kerja sebagai alat partai.
Ø Tugas pers otoriter adalah
bagaimana mempertahankan kekuasaan pemerintahan yang berkuasa, teori pers
komunis justru menggulingkan kapitalisme dan borjuis untuk mencapai tujuan
masyarakat tanpa kelas.
Ø Pers otoriter bertugas
mempertahankan kelas feodal, pers komunis sebaliknya. Pers komunis berusaha
membangun konsep kesejahteraan dengan masyarakat tanpa kelas.
Ø Pers otoriter sedikit
terintegrasi dalam kegiatan dengan pemerintah, pers komunis secara menyeluruh
terintegrasi.
d. Teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Theory).
Sistem
pers tanggung jawab sosial (social
responsibility) muncul awal abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan
mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat.
Dasar
pemikirannya adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada
masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan. Sistem ini muncul di Amerika
Serikat ketika kebebasan yang telah dinikmati oleh pers Amerika selama dua abad lebih dinilai harus diadakan
pembatasan atas dasar moral dan etika.
Sistem
ini juga lebih menekankan pada kepentingan umum dibanding dengan kepentiangan
pribadi.
Sebagai
konsekuensi dari tanggung jawab sosial ini, pada tahun 1923 masyarakat penerbit
surat kabar di Amerika merumuskan kode etik jurnalistik. Kode etik ini
mengimbau agar surat kabar bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat,
ketulusan, kejujuran, tidak memihak, bermain seimbang, sopan, dan menghormati
kehidupan pribadi atau perseorangan. Kode etik ini pada akhirnya mengilhami
lahirnya kode etik industri film pada tahun 1930, Kode etik radio pada tahun
1937, dan kode etik televisi pada tahun 1952.
Kebebasan Menurut Liberal dan Tanggung Jawab
Sosial
Libertarian
lahir dengan kebebasan yang negatif yang membiarkan setiap orang bebas berusaha
mencapai tujuannya sendiri. Sebaliknya, teori tanggung jawab sosial melihat kebebasan
negatif murni seperti diatas tidak tepat dan tidak efektif. Kebebasan yang
tepat adalah kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab etik/moral (tanggung
jawab sosial).
- PENUTUP
Ø Kesimpulan
Dari informasi di atas dapat dimengerti bahwa pers Indonesia pada saat
ini pasti bukan pers otoriter ataupun pers komunis. Pers Indonesia pada
saat ini lebih mengarah ke pers tanggung jawab sosial(Social Responsibility
Theory), yang menjaga
sikap dan nama baik dengan kebenaran dan objektivitas dalam artikel. Namun, ada pula beberapa aspek pers liberal
yang masih terasa dalam pers Indonesia
pada saat ini. Opini seperti KPT reaksionis dan terbawa emosi, bukan logika.
Dalam opini-opini ada kebiasaan
menyampaikan gagasan tanpa memeriksanya memeriksanya dengan ahli dalam
bidang itu; dalam kasus KPT, ahli hukum.Oleh
karena itu, pers Indonesia moderne tidak dapat disebut seratus persen pers
tanggung jawab sosial. Namun, bisa dikatakan bahwa pers Indonesia pada saatini
bersifat tanggung jawab sosial dalam artikel tetapi liberal dalam opini. Agar bisa lebih
dipercaya rakyat sebaiknya pers
Indonesia ingat padakedudukannya
sebagai pelapor peristiwa penting yang berguna untuk rakyat. Apabila ada sesuatu yang sangat memarahkan, sebaiknya opini
tentang itu mengkritik dengan bukti tambahan dari ahli atau kutipan dari
buku.
Ø Kritik Dan saran
Berakhirnya kesimpulan di atas, maka berakhirlah
pembahasan kami, kritik dan saran yang menbangun sangat kami harapkan, guna
meningkatka kualitas dan kuantitas mmakalah ini. Semoga makalah ini memberikan
manfaat baik bagi penulis maupun pembaca pada umumnya.
- DAFTAR PUSTAKA
http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/03/09/sistem-pers-indonesia-445268.html
Kusumaningrat,
Hikmah dkk, Jurnalistik:Teori dan Praktik,
Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2005
Nuruddin,
Jurnalisme Masa Kini, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2009
Mondry,
Pemahaman Teori dan Praktek Jurnalistik,
Bogor: Ghalia Indonesia, 2008
[6] Nuruddin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2009), Bab 2 Sejarah Persr di Indonesia. h. 32.
[7] Nuruddin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2009), Bab 2 Sejarah Persr di Indonesia. h. 45-46.
[8]
http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/03/09/sistem-pers-indonesia-445268.html
[10] http://www.scribd.com/doc/24746954/Sistem-Pers-Indonesia dan Kusumaningrat, Hikmah dkk, Jurnalistik: Teori
dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2005), h. 19-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar