A.
PENDAHULUAN
Telah kita ketahui bersama bahwa ilmu mantiq merupakan ilmu yang
menjadi tatanan berfikir manusia yang dapat memelihara otak dari kesalahan
berfikir.
Dan dalam ilmu mantik terdapat pula pembahasan tentang takrif
beserta macam-macamnya, dan takrif tersebut akan kita bahas dalam pembahasan
kali ini.
B.
PENGERTIAN DEFINISI ( تعريف)
Definisi secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu. Takrif
disebut juga al qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan). Dengan
demikian, takrif menyangkut adanya sesuatu yang dijelaskan, penjelasannya itu
sendiri, dan cara menjelaskannya.
Al-Jurzani
menjelaskan pengertian takrif sebagai berikut:
عِبَارَةٌ
عَنْ ذِكْرِ شَيْئٍ تَسْتَلْزِمُ مَعْرِفَتَهُ مَعْرِفَةَ شَيْئٍ آخَرَ
“Takrif adalah penjelasan tentang penuturan sesuatu, yang
dengan mengetahuinya akan melahirkan suatu pengetahuan yang lain.”
Takrif juga
disebut al-had, yaitu
قَوْلٌ
دَالٌّ عَلَى مَا هِيَةِ الشَّيْئِ
“Kalimat yang menunjukkan hakikat sesuatu.”[1]
Pengertiam
logis tentang persoalan objek pikir merupakan upaya memahami maknanya dalam
membentuk sebuah keputusan dan argumentasi ilmiah yang menjadi pokok bahasan
mantik. Dan dalam praktiknya mesti menguasai bahan pembentukan takrif, yaitu kulliyah
al-Khams.
Sedangkan
menurut istilah ahli logika (mantiq), ta’rif atau definisi adalah teknik
menjelaskan sesuatu yang dijelaskan, untuk diperoleh suatu pemahaman secara
jelas dan terang, baik dengan menggunakan tulisan maupun lisan, dan dalam ilmu
mantiq dikenal dengan sebutan (qaul syarih). Dalam bahasa Indonesia, ta’rif
tersebut dapat diungkapkan dengan perbatasan dan definisi.
C. PEMBAGIAN TA’RIF
Ta’rif dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
I.
DEFINISI RILL / LOGIS
1) Ta’rif Had ( Analitik )
Ta’rif dengan had,
adalah ta’rif yang menggunakan rangkaian lafadz kulli jins dan fashl.
Contoh: Manusia adalah hewan yang berfikir.
Hewan adalah jins ,dan yang berfikir adalah
fashl bagi manusia.
Ta’rif had ada 2, yaitu ta’rif had tam dan ta’rif had naqish :
a) Ta’rif Had Tam
اَنْ
يَكُوْنَ بِالْجِْنسِ وَالْفَصْلِ القَرِيْبَيْنِ
“Penjelasan sesuatu dengan menggunakan jenis qarib dan fashal qarib.”
Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat berfikir
(al-insan hayawan al-nathiq)
Hewan adalah jins qarib kepada manusia karena tidak ada
lagi jins di bawahnya. Sedangkan dapat berfikir adalah fashal qarib baginya.
b) Ta’rif Had
Naqish
اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِْنسِ البَعِيْدِ
وَالْفَصْلِ القَرِيْبِ اَوْ بِالْفَصْلِ القَرِيْبِ فَقَطْ
“Penjelasan sesuatu dengan menggunakan jenis ba’id dan fashal qarib, atau
hanya fashal qarib.”[2]
Contoh: Manusia adalah tubuh yang dapat berfikir (
al-insan jism al-nathiq).
Jism adalah jins ba’id bagi manusia dan,
dapat berfikir adalah fashl qarib
baginya.
Contoh: Manusia adalah yang dapat berfikir (hanya fashal
qarib saja).
2) Ta’rif Rasm
Ta’rif dengan rasm adalah ta’rif yang
menggunakan jins dan ‘irdhi khas. Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat
tertawa.
Hewan adalah jins dan tertawa adalah ‘irdhi khas (sifat
khusus) manusia.
Ta’rif rasm ada 2, yaitu ta’rif rasm tam
dan ta’rif rasm naqish
a) Ta’rif Rasm Tam
اَنْ
يَكُوْنَ بِالْجِْنسِ
القَرِيْبِ
وَالْخَاصَّةِ
“Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan
menggunakan jenis qarib dan khashah.”
Contoh: Manusia adalah hewan yang mampu belajar kitab.
Hewan adalah jins qarib bagi manusia,
sedangkan
mampu belajar kitab adalah khashah
baginya.
b) Ta’rif Rasm
Naqish
اَنْ يَكُوْنَ بِالْجِنْسِ البَعِيْدِ
وَالْخَاصَّةِ اَوْ بِالْخَاصَّةِ فَقَطْ
“Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan
menggunakan jenis ba’id dan khashah atau dengan khashah saja.”
Contoh: Manusia adalah jism (tubuh) yang bisa ketawa.
Jism adalah jins ba’id bagi manusia dan
bisa tertawa adalah khashah baginya.
Contoh: Manusia adalah yang tertawa.(dengan khashah saja)
II. DEFINISI
NOMINAL / LAFADZ
Ta’rif nominal / lafadz
تَبْيِيْنُ
الشَّيْئِ بِاللَّفْظِ اَوْ ضَحُ مِنْهُ
“Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan
menggunakan kata muradif (sinonim) yang lebih jelas dari mu’arraf.”[3]
Contoh:
Menjelaskan
pengertian arca dengan kata patung.
Menjelaskan
pengertian nirwana dengan kata surga.
![]() |
|||||||||||||
![]() |
![]() |
||||||||||||
![]() |
![]() |
||||||||||||
![]() |
![]() |
D. SYARAT-SYARAT TA’RIF
Ta’rif menjadi benar dan dapat
diterima, jika syarat-syaratnya terpenuhi, antara lain:
1)
Ta’rif harus jami’
mani’ (muththarid mun’akis).
Secara lughawi,
jami’ berarti mengumpulkan dan mani’ adalah melarang. Dalam ilmu mantik, jami’
berarti mengumpulkan semua satuan yang dita’rifkan ke dalam ta’rif. Sedangkan
mani’ berarti melarang masuk segala satuan hakekat lain dari yang dita’rifkan
ke dalam ta’rif tersebut. Oleh Karena itu, ta’rif tidak boleh lebih umum atau
lebih khusus dari yang dita’rifkan.
Contoh:
Manusia adalah
hewan yang berakal.
2) Ta’rif harus lebih jelas dari yang dita’rifkan (an
yakuna audlah min al-mu’raf).
3)
Ta’rif harus
sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan. Karena itulah ta’rif tidak dianggap
benar dan tidak bisa diterima sebagai ta’rif (definisi), jika keadaannya tidak
sama dengan yang didefinisikan.
4)
Ta’rif tidak
berputar-putar. Maksudnya jangan sampai terjadi ta’rif dijelaskan oleh yang
dita’rifi (an yakuna khaliyan min al-dawar).
5)
Ta’rif bebas
dari penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak makna (an
yakuna khaliyan min al-majaz wa al-musytarakat).[4]
E.
KESIMPULAN
Takrif (al-ta’rif) secara
etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu. Takrif disebut juga al
qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan) atau al-had, yaitu
قَوْلٌ
دَالٌّ عَلَى مَا هِيَةِ الشَّيْئِ
“Kalimat yang menunjukkan hakikat sesuatu.”
Sedangkan ta’rif secara mantiki adalah
teknik menerangkan baik dengan tulisan maupun lisan, yang dengannya diperoleh
yang jelas tentang sesuatu yang diterangkan / diperkenalkan.
Ta’rif dibagi menjadi 2 macam, yaitu: ta’rif rill (had dan rasm), ta’rif nominal.
Syarat-syarat ta’rif, yaitu harus jami’ mani’, harus
lebih jelas dari yang dita’rifkan, harus sama pengertiannya dengan yang
dita’rifkan, tidak berputar-putar, bebas dari penggunaan kata majazi dan
kata yang mngandung banyak makna.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Sambas, Syukriadi. 2000. Mantik kaidah
berpikir Islam. Bandung: PT Remaja Rusdakarya
Ø
Hasan, Ali. 1995. Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta : Pedoman Ilmu
jaya
Ø
al-Hasyimy, Muhammad Ma’shum Zainy. 2008. Zubdatul Mantiqiyah (teori
Berfikir Logis), Jombang: Darul Hikmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar