Sabtu, 18 Januari 2014

Akhlak, Etika & Moral

BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama universal,  mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan , baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrowi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepadanya untuk melaksanakan kegiatan paendidikan, karena merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan makalah yang kami sajikan ini, kami ingin mengetahui ilmu tentang akhlak tasawuf, yang membahas tentang akhlak, etika, moral, norma beserta persamaan dan perbedaannya. Sehinngga dengan makalah ini, kita mampu memperoleh cakrawala baru tentang tata cara berkehidupan didalam lingkungan bermasyarakat sesuai dengan tuntunan Alquran dan hadis rosul SAW  . Sehingga nantinya akan menjadi suatu ilmu dan dapat kita amalkan  dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kepada orang lain.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    AKHLAK
           
            Akhlak menurut etimologi berasal dari bahasa arab yang berarti “budi pekerti”. Yang bersinonim dengan etika dan moral, budi pekerti dalam bahasa indonesia merupakan kata majemuk dari kata “budi” dan “pekerti” perkataan budi berasal dari bahasa sangsekerta yang berarti “yang sadar” atau “yang menyadarkan” dan “alat kesadaran” pekerti berasal dari bahas indonesia sendiri “kelakuan”.[1]
            Sedangkan akhlak secara terminologi adalah sesuatu yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio, yang disebut dengan karakter, dan yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan hati yang disebut behavior, ini merupakan hasil perpaduan rasio dan rasa yang termanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.
            Sedangkan ilmu akhlak sendiri adalah suatu ilmu yang mengkaji perbuatan yang dilakukan manusia yang dalam keadaan sadar, kemauan sendiri, tidak terpaksa dan sungguh-sungguh, bukan perbuatan pura-pura.
            Menurut Imam Ghazali: “tanpa banyak pertimbangan akhlak ialah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah bertindak lagi”. Atau boleh dikatakan, perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan. pertimbangan, seolah-olah tangannya sudah terbuka lebar untuk itu. Hal ini, bisa terjadi karena orang tersebut sudah biasa sebaliknya orang kikir seolah-olah tangannya sudah terpaku dalam kantongnya, tidak mau mengeluarkan bantuan kepada fakir miskin, begitu juga orang yang pemarah, selalu saja marah tanpa ada alas an yang jelas.
            Jumhur ulama mengatakan akhlak itu ialah: “suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul setiap ia bertindak tanpa mersa sulit (timbul dengan mudah)”. Karena sudah menjadi kultur atau budaya sehari-hari. Sedangakan akhlak yang biasa dilakukan adalah akhlak yang baik (akhlakul karimah) dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah).[2]


B.         ETIKA
                       
            Istilah etika berasal dari kata latin: Ethic dan dalam bahasa Gerik: Ethicos is a body of moral prinsiples or values. “Ethic” berarti kebiasaan, habit, costum. Jadi etika ialah suatu kebiasaan yang disebut baik didalam masyarakat (dewasa ini).[3]
            Etika dalam bahasa yunani disebut ethos yang memiliki pengertian “adat istiadat, pengertian bathin, kecenderungan untuk melakukan perbuatan”.[4]
            Menurut kamus bahasa indonesia diartikan “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”
            Menurut Ki Hajar Dewantoro etika adalah “ilmu yang mempelajari soabaikan dan keburukan didalam hidup manusia yang teristimewa mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatannya.
            Frankena dikutip oleh Ahmad Charis Zubair mengatakan bahwa etika adalah sebagai cabang filsafat yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.[5]
            Dari beberapa definisi diatas etika berhubungan dengan 4 hal yaitu sebagai berikut:
1.      Dilihat dari segi objek pembahasannya etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
2.      Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal fikiran, etika tidak bersifat mutlak, absolut, dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kelebihan, kekurangan, dan lain sebagainya.
3.      Dilihat dari segi fungsi, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebuut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina, dan lain sebagainya. Peran etika itu sendiri adalah tampak sebagai hasil atau wasit dan bukan sebagai pemain.
4.      Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman, etika juga bersifat humanistis dan antroposentis, yakni berdasar pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia.[6]
C.     MORAL
           
            Moral secara etimologi berasal dari bahasa latin yaitu mores jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa indonesia moral adalah “penentuan baik buruk terhadap kelakuan”.
            Sedangkan menurut terminologi merupakan alat yang digunakan untuk menetukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
            Didalam buku The Advanced Leaner’s dictionary of current english dikemukakan bahwa pengertian morak adalah:
v Prinsip-prisip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
v Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
v Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.[7]

D.    NORMA
           
            Norma secara etimologi berasal dari bahasa latin norma yang semula berarti penyiku, suatu perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari istilah norma ini memperoleh arti pedoman, ukuran, aturan, atau kebiasaan. Disimpulkan bahwa norma adalah alat untuk mengukur sesuatu yang lain.
            Dalam kamu bahasa yunani norma disebut cretarion yang artinya standar patokan untuk melakukan sesuatu dengan norma moral orang dapat mengukur dan menilai kebaikan atau keburukan sesuatu perbuatan.
            Sedangkan norma secara terminologi memuat 2 pengertian:
v Norma menunjuk suatu teknik
v Norma menunjuk suatu keharusan (ought), keharusan ini merupakan tuntutan-tuntutan yang sepatutnya di taati apabila manusia ingin hidup sebagai manusia.
Dalam arti yang pertama tidak bersifat normatif dan yang kedua benar-benar bersifat normatif. Sebagimana yang telah dikemukakan bahwa norma yang diperlukan adalah norma yang diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkrit.

E.     PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA AKHLAK, ETIKA, MORAL, NORMA

1.      Perbedaan
v Terdapat pada tolak ukurnya masing-masing, dimana ilmu akhlak dimana dalam menilai perbuatan manusia dengan tolak ukur ajaran alquran dan sunnah. Sedangkan  etika dengan pertimbangan akal pikiran dan moral, dengan adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat. Perbedaan lain mengenai etika dan moral, yakni etika lebih bersifat teoritis sedangkan oral banyak bersifat praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara lokal, moral menyatakan ukuran, sedang etika menjelaskan ukuran itu.
v Akhlak membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia yang belum diketahui kebaikan dan keburukannya.
v Etika ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk tingkah laku manusia yang harus dilakukan dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan apa yang seharusnya mereka perbuat. Dalam menentukan nilai perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio.
v Moral menjelaskan tentang batas-batas perangai atau tingkah laku yang harus dilakukan oleh manusia dalam bersikap dan  bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut baik atau buruk. Dan menggunakan tolak ukur norma-norma yang tumbuh berkembang dan berlangsung dalam masyarakat.
v  Norma adalah merupakan penunjuk atau tatacara dalam berperilaku. Norma juga merupakan penunjuk suatu keharusan yang didalamnya terdapat tuntutan-tuntutan yang yang seharusnya ditaati, dipatuhi jika ingin menjadi manusi. Dalam arti norma adalah aturan yang mengatur manusia dalam berperilaku.
2.         Persamaan
v Sama-sama menentukan hukum/ nilai dengan keputusan manusia dengan keputusan baik dan buruk.
v Sama-sama mengkaji tentang tingkah laku dan perangai manusia
v Pembahasaanya saling menguatkan dalam arti terdapat hubungan simbiotik di antara akhlak, etika, moral, norma itu sendir


BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan kita diatas dapat dipahami bahwa, dari pengertian hingga perbedaan dan persamannya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa didalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari kita perlu mengetahui tata cara atau prinsif dasar dalam berakhlak, beretika, bermoral dan mempunyai norma atau aturan-aturan sehingga kehidupan dalam bermasyarakat dapat berjalan dengan semestinya sesuai dengan aturan-aturan yang di tentukan.
Semoga makalah ini menjadi acuan untuk kita lebih berfikir luas dalam mengkaji ilmu tasawuf ini, semoga kita lebih mengetahui makna berakhlak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan sempit bahkan lingkungan yang luas. Sebagaimana yang telah di contohkan oleh nabi kita Muhammad SAW.. Dan kami mohom maaf jika makalah ini masih banyak kerancauan dan kesalahan di dalamnya, dan kami berharap semoga rasa tidak puas dalam mengkaji ilmu untuk selalu dipupuk sebagai motivasi kita untuk menjadi lebih baik.
Kami berharap makalah yang sangat sederhana ini dapat memberi manfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Dan atas perhatian para pembaca kami ucapkan banyak terimakasih. Jazakumulloh khoiron katsiron






DAFTAR PUSTAKA

AR, Zahruddin; Sinaga, Hasanuddin. 2004. Pengantar STUDI AKHLAK. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Nata, Abuddin, 2009. AKHLAK TASAWUF. Jakarta : Rajawali Pers
Toriquddin, Muhammad. 2008. Sekulalaritas  Tasawuf. Malang: UIN Malang Pers



[1]  Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Study Akhlak . hlm. 37-39
[2]  Ibid hlm. 38
[3]  Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf” hlm. 12
[4]  Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Study Akhlak . hlm. 43

[5]  Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, hlm. 90-91
[6]  Ibid hlm. 92
[7]  Ibid hlm. 93

Pengertian Syarh Hadis

A.    Pendahuluan
Seluruh umat Islam telah menerima paham, bahwa hadist Rosulullah Saw. itu sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Quran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan dan hukum-hukum yang masih bersifat umum yang kemudian tidak ada perincian setelahnya dari ayat-ayat al-Quran, maka hendaklah dicari penyelesaiannya di hadist. Dan hadist nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Terlebih orang arab sangat menyukai hafalan, maka tidak heran jika para sahabat terbiasa menghafal apa-apa yang Rosulullah ucapkan, lakukan dan mereka mengisahkannya kembali. Setiap waktu hadist mengalami perkembangan.
Sunnah Nabi bagi mereka sangat terlampau penting untuk tidak dilengahkan atau dilupakan. Dan hal ini sangat terlihat sebagai bukti terkuat dalam sejarah Islam dan menggagalkan setiap usaha untuk merusaknya baik secara religius maupun historis.
Karena itu sebab dan penjelasan tentang hadist selalu menarik untuk dikaji sejalan dengan perkembangan nalar manusia yang semakin kritis. Dan tidak heran jika kemudian banyak pihak yang ikut nimbrung dalam mengkritik hadits meskipun mereka tidak faham ilmunya.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang ilmu syarh al-hadist, fiqh al-hadits, serta sejarah perkembangannya.

B.     Pengertian Syarh al-Hadits
Kata syarah (syarh) berasal dari bahasa Arab شرح – يشرح - شرحا  yang artinya menerangkan, membukakan, dan melapangkan.[1] Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadits, sedangkan tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau pesan), tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir spesifik bagi Al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an), sedangkan istilah syarah (syarh) meliputi hadits (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadis) dan disiplin ilmu lain.[2]
Sedangkan secara istilah definisi syarah hadis adalah sebagai berikut:
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَعَانِي الْحَدِيْثِ وَاسْتِخْرَاجُ فَوَائِدِهِ مِنْ حُكْمٍ وَحِكْمَةٍ
Syarah hadis adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.
Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadis, sedangkan definisi syarah yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matannya, adalah sebagai berikut:
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَايَتَعَلَّقُ بِالْحَدِيْثِ مَتْنًاوَسَنَدًا مِنْ صِحَّةٍ وَعِلَّةٍ وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ اَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ.
Syarah hadis adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[3]
Dengan definisi di atas, maka kegiatan syarah hadis secara garis besar meliputi tiga langkah, sebagai berikut,
1)      Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadis, baik dari sisi sanad maupun dari sisi matan, dan baik global maupun rinci. Hal ini meliputi penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan karakteristik para periwayatnya, serta analisis matan dari sisi kaidah-kaidah kebahasaan.
2)      Menguraikan makna dan maksud hadits. Hal ini meliputi penjelasan cara baca lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna leksikal dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan.
3)      Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi istinbat terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matan hadits, baik yang tersurat maupun yang tersirat.[4]
Syarah hadits juga berarti meneliti, kemudian menjelaskan setiap komponen yang terdapat pada sebuah hadits. Secara umum, para ulama hadits menjelaskan ada dua komponen yang terdapat pada sebuah hadits yakni sanad dan matan. Sanad adalah rangkaian perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya. Sedangkan matan adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.[5]

C.    Sejarah Perkembangannya
Sejarah perkembangan syarah hadis, tentu sangat mengikuti perkembangan hadits. Artinya, perkembangan syarah muncul setelah perkembangan hadits sudah mengalami beberapa dekade perjalanan. Dengan dasar ini sehingga para ulama terkadang berbeda dalam menentukan lahirnya syarah hadits. Di antaranya Hasbi al-Shiddieqy yang memposisikan perkembangan syarah hadits pada periode ketujuh, periode terakhir dari periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits yang dibuatnya.
Ketujuh periode yang dibuat Hasbi al-Shiddieqy adalah sebagai berikut: 1) Kelahiran hadits hingga Rasulullah wafat; 2) Pembatasan riwayat; 3) Perkembangan periwayatan dan perlawatan mencari hadits, sejak 41 H sampai akhir abad ke-1 H; 4) Pembukuan hadits, selama abad ke-2 H; 5) Penyaringan dan seleksi hadits, selama abad ke-3 H; 6) Penghimpunan hadits-hadits yang terlewatkan, sejak  awal abad ke-4 H, sampai tahun 656 H; 7) Penulisan kitab-kitab syarah, kitab-kitab takhrij, dan sebagainya, sejak pertengahan abad ketujuh Hijriah.[6]
Selain Hasbi al-Shiddieqy, terdapat ulama lain yang relatif objektif dalam memposisikan syarah hadits dalam preodisasi perkembangan hadits dan ilmu hadits, yaitu Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli. Ia membaginya menjadi lima periode, dan periode terakhir adalah sistematisasi, penggabungan, dan penulisan kitab syarah sejak abad ke-4 Hijriah.[7]
Sedangkan penulis yang melakukan periodisasi sejarah perkembangan ilmu hadits adalah Nuruddin ‘Itr. Ia membagi sejarah perkembangan ilmu hadits menjadi tujuh tahap, yaitu: 1) kelahiran ilmu hadits, sejak masa sahabat hingga tahun 100 H; 2) Penyempurnaan, sejak awal abad kedua hingga awal abad ketiga Hijriah; 3) pembukuan ilmu hadits secara terpisah, sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah; 4) penyusunan kitab-kitab induk ilmu hadits, sejak pertengahan abad keempat sampai abad ketujuh Hijriah; 5) Pematangan dan penyempurnaan pembukuan ilmu hadits, sejak akhir abad ketujuh sampai abad kesepuluh Hijriah; 6) Kebekuan dan kejumudan, abad kesepuluh sampai abad keempat belas Hijriah; 7) kebangkitan kedua, abad keempat belas dan seterusnya.[8]
Akan tetapi karena kegiatan mensyarah hadits sebenarnya secara praktis telah terjadi pada saat kelahiran hadits itu sendiri, yaitu oleh Rasulullah secara lisan dan dilanjutkan pada masa sahabat oleh para ulama mereka, maka periodisasi sejarah perkembangan syarah hadits tampaknya perlu dibedakan dengan periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa syarah hadits secara lisan sering dilakukan Rasulullah Saw. dan para sahabat. Bila demikian, periode sejarah perkembangan syarah hadits secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu syarah hadits pada masa kelahiran hadits (fi ‘ashr al-risalah), syarah hadits pada masa periwayatan dan pembukuan hadits (fi ‘ashr al-riwayah wa al-tadwin), dan syarah hadits setelah pembukuan hadits (ba’da al-tadwin).
a.       Syarah Hadits pada Masa Kelahirannnya (Fi ‘Ashr al-Risalah)
Masa kelahiran hadits sama dengan masa turunnya al-Qur’an, atau selama Nabi Muhammad mengemban risalah yaitu sejak diangkat menjadi nabi dan rasul hingga ia wafat. Segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi merupakan bayan kepada umatnya. Akan tetapi tidak semua sahabat mampu memahami setiap ucapan Nabi dengan baik, sehingga mereka menanyakan makna kata-kata tertentu secara langsung kepada Nabi atau kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan syarah hadits telah terjadi pada masa kelahiran hadits itu sendiri, dan pensyarahnya adalah Rasulullah.[9]
b.      Syarah Hadits pada Masa Periwayatan dan Pembukuan Hadits (Fi ‘Ashr Al-Riwayah wa al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan hadits pada masa periwayatan dan pembukuan hadits adalah kegiatan syarah hadits yang dilakukan secara lisan atau tulisan sejak masa sahabat hingga memasuki masa penulisan kitab-kitab syarah, yaitu dari dasawarsa kedua abad pertama Hijriah hingga akhir abad ketiga Hijriah. Periode ini dinamai masa periwayatan dan pembukuan hadits karena kedua kegiatan tersebut tidak pernah dapat dipisahkan, setidaknya selama batas waktu tersebut periwayatan dan pembukuan hadits berjalan seiring, karena periwayatan hadits juga berlangsung berdasarkan hafalan dan tulisan. Apabila periode ini diakhiri dengan munculnya kitab syarah, maka periode ini dapat berakhir pada akhir pertengahan abad keempat Hijriah, yaitu dengan lahirnya kitab syarah Shahih al-Bukhari yang tertua berjudul A’lam al-Sunan karya al-Khaththabi (w. 388 H).[10]

c.       Syarah Hadits Pasca Pembukuan Hadits (Ba’da al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan periode pasca pembukuan adalah berakhirnya penulisan-penulisan kitab-kitab hadits yang termasuk kategori al-Mashadir al-Ashliyyah, yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan hasil pencarian dan penelusuran hadits oleh penulisnya dengan sanad-nya sendiri, bukan kumpulan kutipan-kutipan hadits dari berbagai kitab, bukan himpunan di antara dua kitab atau lebih, dan bukan pula ringkasan dari kitab-kitab yang lain. Dasar pemikiran dari pembatasan awal periode ini adalah karena berakhirnya pembukuan hadits, maka penulisan syarah terhadap hadits tidak lagi tercakup dan menyatu dengan matan hadits seperti pada masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari kitab hadits yang terakhir disusun, maka periode ini berawal pada pertengahan –bahkan mungkin awal− abad kelima Hijriah, yaitu dengan disusunnya al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqiy (w. 458 H). Namun, apabila dilihat dari munculnya kitab syarah, boleh jadi periode ini berawal sejak pertama kali munculnya kitab syarah yang dikenal dengan sebagai kitab syarah tertua yaitu A’lam  al-Sunan karya al-Khaththabi (w. 388 H), yaitu syarah terhadap shahih al-Bukhari. Hal ini sesuai dengan periodisasi menurut al-Khuli di atas.[11]

D.    Pengertian Fiqh al-Hadis
Fiqh al-Hadits terdiri dari dua kata yaitu: fiqh dan al-Hadits.
a)      Fiqh adalah العلم بالشيء و الفهم له  ( mengetahui sesuatu dan memahaminya). Al-Fairuz Abadiy mendefinisikan kata ini dengan  العلم بالشيء والفهم له والفطنة وغلب على الدين لشرفه  (mengetahui sesuatu dan memahaminya, kecerdasan, dan pengetahuan itu menguasai ilmu agama karena kemuliannya).[12]
b)      Kata al-Hadits secara literatur berarti informasi atau komunikasi yang bersifat umum. Ini sesuai dengan ungkapan Ibn Manzhur kata al-Hadits berasal dari حدث- يحدث-حدثا yang berarti kabar atau berita yang banyak atau yang sedikit.[13]
Sedangkan secara terminologi al-Hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, bentuk fisik, sifat, serta sejarah hidup yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik setelah diutus maupun sebelumnya.
Sedangkan kata fiqh al-hadits menurut Abu Yasir al-Hasan al-Ilmy adalah:[14]
فقه الحديث النبوي معناه فهم مراد النبي صلى الله عليه و سلم من كلامه.
Fiqh al-Hadits al-Nabawiy artinya adalah memahami maksud dari perkataan Nabi Saw.
Sedangkan menurut pendapat lain adalah[15]:
فقه الحديث هو فهم مراد النبي من كلامه واستخراج معناه.
Fiqh al-Hadits adalah memahami maksud dari perkataan Nabi Saw. dan mengeluarkan maknanya.  
Jadi makna yang diungkapkan ini bukanlah makna fiqh yang dikenal oleh kalangan fuqaha’. Makna yang di kemukakan oleh Abu Yasir adalah makna yang mencakup semua sunnah Rasulullah Saw. dan makna inilah yang dimaksud oleh ulama-ulama hadis seperti al-Bukhariy, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dll.
Berdasarkan penjelasan definisi tersebut baik secara bahasa ataupun istilah, maka dapat dipahami bahwa kata fiqh al-Hadits berarti memahami maksud dari perkataan Nabi Saw. namun pengertian fiqh al-Hadits secara bahasa menurut penulis lebih mencapai target yang dituju dari pembahasan ini karena yang dituju oleh pemahaman ini bukan hanya perkataan Nabi Saw. saja, tetapi juga perbuatan dan ketetapannya yang diungkapkan oleh sahabat. Selain itu dari definisi yang dikemukakan oleh Thasy Kubra Zadah, pemahaman yang dituju hanya seputar hadis-hadis yang bersifat syar’i, dalam hal ini terlihat pembatasan pemahaman hadis hanya yang terkait dengan bidang hukum saja, padahal yang perlu dipahami oleh umat tidak hanya seputar wilayah hukum, karena Rasulullah Saw adalah teladan bagi umat manusia, sehingga segala sesuatunya yang muncul dari perilaku Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sikap hidupnya dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi pedoman bagi manusia. Selain itu bertujuan agar umat tidak salah dalam menerapkan hadis Nabi Saw, karena tidak semua hadis tersebut harus dilakukan oleh umat terutama hal yang dikhususkan untuk Nabi Saw.
Jadi Fiqh al-Hadits menurut penulis berarti pemahaman terhadap ucapan, perbuatan, sifat, ketetapan, dan juga sejarah hidup Nabi Saw. yang disampaikan oleh sahabat.

E.     Sejarah Perkembangannya
Perkembangan dan Sejarah fiqh al-Hadits dapat di perhatikan sebagaimana berikut ini, yaitu:
1)      Pada masa Nabi Saw.
Pada masa ini, para sahabat telah melakukan usaha untuk memahami perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Saw, baik itu ketika menghadiri majelis Nabi Saw, maupun dalam kesehariannya. Salah satu usaha yang dilakukan oleh para sahabat adalah dengan menanyakan nya langsung kepada Nabi Saw. Ini dapat dibuktikan dengan pertanyaan sahabat kepada  Nabi Saw terhadap apa yang tidak mereka pahami dari apa yang telah disampaikan oleh Nabi Saw. Contohnya adalah perkataan Nabi Saw., yang di riwayatkan oleh al-Tirmidziy berikut ini;[16]
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَىَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ « الْمُتَكَبِّرُونَ »
Artinya : ... Dari Jabir Bahwa Rasulullah Saw. bersabda; Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan orang yang paling dekat dengan majelisku di hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sesungguhnya orang yang paling benci kepadaku dan paling jauh dari majelisku di hari kiamat adalah orang yang cerewet, orang-orang yang malas bicara, lalu sahabat bertanya siapakah al-Mutafayyiqun itu? Rasul menjawab yaitu orang-orang yang sombong.
Dalam hadis ini terlihat bahwa sahabat meminta atau menanyakan langsung kepada Nabi Saw. terhadap kata-kata yang tidak dimengerti atau tidak dipahami oleh sahabat maknanya. Ini adalah diantara salah satu bentuk pemahaman terhadap hadis dengan mengetahui makna dari kata asing yang terdapat dalam hadis Nabi Saw., atau dengan mengetahui Asbab al-Wurud al-Hadits, Nasikh dan Mansukhnya, penguasaan para sahabat terhadap biografi kehidupan Nabi, atau dengan kondisi-kondisi lain yang mendukung pemahaman terhadap hadis Nabi Saw. tersebut.
2)      Pada masa Sahabat
Setelah Nabi Saw. wafat, para sahabat merupakan tempat bertanya bagi masyarakat, karena para sahabat merupakan orang yang pernah hidup bersama Nabi Saw, dan mereka sahabat merupakan pewaris dari Nabi Saw. Jika ada persoalan agama pada umumnya, khususnya hadits masyarakat lansung bertanya kepada sahabat.
Dimasa sahabat, Fiqh al-Hadits belum dirumuskan secara terperinci. Namun, usaha untuk mencari pemahaman yang benar dari hadis tetap dilakukan oleh para sahabat, apalagi kondisi ini didukung oleh tersebarnya Islam ke luar wilayah Arab.
Masa sahabat menampakkan perbedaan dari masa Nabi karena pada sahabat telah mengarahkan perhatiannya terhadap pengumpulan dan pembukuaan al-Qur’an serta juga usaha untuk mentadabbur (meneliti dan memahami ) sunnah. Hal ini terlihat dalam usaha mereka mengikuti Umar dengan sedikitnya meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. Menurut Umar, jika periwayatan telah banyak maka orang akan menjadi lalai, sehingga akan terabaikan pemahaman dan dirayahnya, sedangkan jika periwayatan sedikit maka orang akan berusaha untuk memahami dan menjaganya. Ibn Abd al-Bar berpendapat bahwa hal ini terjadi karena mereka takut akan terjaadi kedustaan terhadap Rasulullah dan takut umat akan sibuk untuk mentadabbur (meneliti dan memahami) sunnah dari pada al-Qur’an.[17]
Setelah itu para sahabat juga telah berupaya mengistinbathkan (mengambil ketetapan) hakum dan mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sunnah, tetapi di sisi lain mereka tidak menyibukkan diri untuk mengetahui kaidah-kaidah bahasa dan cara-cara untuk menetapkan dalil karena itu adalah sesuatu yang mudah bagi mereka.
3)      Pada masa Tabi’in dan sesudahnya
Islam semakin berkembang dan umatnya tersebar di berbagai penjuru negeri. Perkembangan Islam sesuai dengan perkembangan zaman, ini menuntut pemeliharaan dan pemahaman yang benar terhadap hadis Rasulullah SAW. Kondisi ini dilatar belakangi oleh terjadinya pemalsuan hadis Nabi SAW dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Untuk menghindari pemahaman yang tidak benar dan ke tidak otentikkan sebuah hadis, maka para tabi’in setelah sahabat melakukan berbagai upaya pemeliharaan terhadap hadis dan membuat karya-karya yang mendukung untuk memahami hadis yang menjadi sumber kedua dari Hukum Islam. Diantara usaha yang dilakukan oleh para tabi’in adalah dengan menyusun karya yang berkaitan dengan ilmu hadis, dan pemahaman hadis (fiqh hadits) seperti ditulis oleh Imam Malik dengan karya al-Muatha’.
Menurut Abu Yasir bahwa kondisi fiqh al-Hadits pada masa Tabi’in ini cukup berkembang, ini terlihat dari usaha yang telah melakukan upaya-upaya untuk dapat memahami hadis dengan baik dan benar, sehingga hadis Nabi SAW dapat dipahami kandungan dari hadis apakah hadis tersebut bersifat hukum atau tidak. Secara ringkas dapat di katakan bahwa ini didukung oleh:
a.       munculnya keinginan untuk menggunakan kaidah fiqh al-Hadits   
b.      meluasnya permasalahan khilafiyah dalam memahami hadis
c.       berkembangnya pembukuan terhadap sunnah atau hadis.
F.     Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat disimpulakan bahwa syarh al-hadis dan fiqh al-hadis memiliki kaitan yang sangat erat sekali, dimana syarah hadis merupakan hasil Transformasi dari Fiqh hadis atau pemahaman terhadap hadis.[18] Fiqh Hadis lebih bersifat konseptual dan dalam penjelasanya bersifat lisan. Sedangkan istilah Syarah bersifat kongkrit operasional yang berwujud tulisan dalam beberapa kitab yang berisi penjelasan ulama dari hasil pemahaman mereka terhadap suatu Hadis.
Syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap suatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap sebagian dari kitab, bahkan uraian terhadap satu kalimat atau suatu hadis, juga disebut dengan syarah. Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab tertentu, seperti syarah Shahîh al-Bukhârî, syarah Alfiyyah Al-`Irâqî, dan syarah Qurrat al-`Ayn, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadis” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatu hadis tertentu, yaitu ucapan, tindakan, atau ketetapan Rasulullah Saw. beserta sanadnya.
G.    Daftar Pustaka
Abu Yasir al-Hasan al-‘Ilmy, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirayah wa Tanzilan, Disertasi: t.tp, t.th

al-Jawābī, Muhammad Thāhir, Juhȗd al-Muhaddītsīn fi Naqd Matn al-Hadīts al-Nabī al-Syarīf, Tunisia, t.th

al-Khatib, Ajaj, Ushul al-Hadits, Jakarta: GMP, 2007

al-Khulli, Muhammad ‘Abd al-‘Aziz, Tarikh Funun al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th

al-Mishri, Muhammad bin Mukarram bin al-Manzhur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Jilid II, Beirut: Dar Shadir, t.th

Ali, Nizar, (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis, Yogyakarta, 2007

Nurkholis, Mujiono, Metodologi Syarah Hadist, Bandung: Fasygil Grup, 2003

‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1979






[1] Muhammad bin Mukarram bin al-Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t.t), Jilid II, hlm. 497-498
[2] Nizar Ali, (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis, (Yogyakarta, 2007), h. 4
[3] Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003), h. 3
[4] Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, h. 4
[5] Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Jakarta: GMP, 2007), h. 12
[6] Hasbi al-Shiddieqy, sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang , 1980, hlm. 46-47. Akan tetapi berdaskan fakta yang ada kitab syarah sudah ditulis sejak abad ke-4 dengan tersusunnya kitab Ma’alim al-Sunan Syarah Sunan Abi Dawud yang ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi al-Busti (319-388 H).
[7] Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khulli, Tarikh Funun al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.t, hlm. 12
[8] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979) h. 36-72
[9] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, h. 35-36
[10] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, h. 40
[11] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, h. 45
[12] Muhammad ibn al-Mukarram ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Bairut: Dar Lisan al-‘Arab, {t.th}), juz.III. h. 1120
[13] Majd al-Din Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abadiy, Al-Qamus al-Muhith, (Bairut: Dar al-Jail, t.th), Juz 4, h. 291
[14] Abu Yasir al-Hasan al-‘Ilmy, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirayah wa Tanzilan, (Disertasi: t.tp, t.th), h.14
[15] Ungkapan ini dikutip oleh pemakalah dari Kitab Juhȗd al-Muhaddītsīn fi Naqd Matn al-Hadīts al-Nabī al-Syarīf, h. 128
[16] Al-Tirmidziy, Sunan al-Tirmidziy (Aplikasi Lidwa)
[17] Abu Yasir dari kitab Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadhlihi, untuk lebih jelas lihat Abu Yasir, Op. Cit, h. 21

[18] Muhammad Thāhir al-Jawābī, Juhȗd al-Muhaddītsīn fi Naqd Matn al-Hadīts al-Nabī al-Syarīf, Tunisia, t.th, h. 129